Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Gembala

7 September 2024   05:31 Diperbarui: 7 September 2024   05:37 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(hasil sreenshoot atas sebuah video yang beredar di WAG)

Sang Gembala 

(Terima Kasih Papa Fransiskus)

Langit di Jakarta tampak biru cerah petang itu. Ribuan orang dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul di Gelora Perjuangan peninggalan Bung Karno, menantikan sosok yang telah lama dirindukan. Paus Fransiskus, sang gembala yang penuh kasih, akan datang mengunjungi mereka. Sejak kabar kedatangannya tersiar, umat dari segala usia, dari segala lapisan, telah mempersiapkan diri. Ada yang rela melakukan perjalanan berhari-hari, ada pula yang sudah sejak dini hari berdiri di barisan terdepan, meskipun hanya berharap sekilas melihat sang Paus dan mungkin mencium tangannya.

Anna, seorang perempuan muda berusia dua puluh lima tahun, berdiri di antara lautan manusia itu. Di dalam hatinya, terbit sebuah harapan yang telah lama ia bawa sejak berita kunjungan Paus pertama kali diumumkan. Ia memegang sebuah kalung salib tua di tangannya, peninggalan ibunya yang baru saja meninggal sebulan lalu. Air mata menggenang di sudut matanya, namun senyum penuh harapan tak pernah surut dari wajahnya. Baginya, kehadiran Paus Fransiskus adalah jawaban atas doa-doanya selama ini---doa yang menginginkan kedamaian setelah duka kehilangan orang yang paling ia cintai.

Di sebelahnya, seorang pria tua bernama Pak Suryadi berdiri dengan tongkat yang menopang tubuhnya yang rapuh. "Hanya dengan melihatnya saja, aku akan merasa diberkati," bisiknya pada seorang cucu yang setia menemaninya. Pak Suryadi telah lama merindukan saat-saat seperti ini. Usianya sudah menginjak delapan puluh tahun, dan bagi dia, kesempatan melihat Paus adalah kesempatan yang mungkin tak akan terulang lagi dalam hidupnya.

(dari FB Mas Wahyu Hidayat II)
(dari FB Mas Wahyu Hidayat II)

Sementara itu, di bagian belakang lapangan, rombongan koor gereja dari berbagai daerah sudah bersiap-siap untuk menyanyikan lagu-lagu pujian. Suara mereka terdengar bagai litani yang mengalir dalam angin, membangkitkan rasa syukur dan kehadiran kasih Allah di tengah umat-Nya. Lagu-lagu pujian itu seakan menjadi pengantar bagi kedatangan Paus, yang kian dinanti-nanti dengan penuh kerinduan.

Pukul setengah lima petang, suara lonceng gereja bergema dari kejauhan, pertanda bahwa mobil yang membawa Paus Fransiskus telah mendekati lokasi. Kerumunan mulai gemuruh, bertepuk tangan, dan beberapa di antaranya mulai menyanyikan "viva il Papa" berulang-ulang, Ada yang meneriakan namanya "Papa Fransiskus! Papa Fransiskus!" dengan penuh cinta dan penghormatan. Seolah-olah menyebut nama itu sudah cukup untuk membawa ketenangan di hati mereka. Bagi banyak orang, Paus bukan hanya seorang pemimpin agama, tapi juga perwujudan kasih Allah yang nyata di dunia.

Ketika mobil berhenti, dan Paus Fransiskus keluar dengan senyum yang lembut, seketika suasana berubah menjadi haru. Anna, yang sudah lama menahan air matanya, tak mampu lagi menahan diri. Air mata jatuh mengalir deras di pipinya. Dia merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan---sebuah rasa damai yang datang begitu saja, seperti kehadiran ilahi yang membelai hatinya.

Di depan barisan, beberapa orang berlutut, tangan mereka terangkat tinggi-tinggi, berharap mendapatkan berkat dari Paus. Paus Fransiskus melangkah perlahan, menyapa umat dengan tangan terbuka. Tatapan matanya penuh kelembutan, penuh kasih yang murni. Dia mendekati mereka yang berlutut, mengangkat mereka dengan lembut, memberikan pelukan, dan memberkati mereka dengan penuh perhatian. Umat tak mampu membendung air mata mereka. Bagi mereka, setiap sentuhan dari Paus adalah bukti nyata kasih Allah yang tak terhingga.

Pak Suryadi, yang sudah menanti-nanti sejak pagi, merasa jantungnya berdegup kencang ketika Paus Fransiskus mendekat. "Apakah beliau akan melihatku?" pikirnya dengan perasaan tak menentu. Dan ketika akhirnya Paus mendekat ke arahnya, sesuatu yang luar biasa terjadi. Paus melihat ke arahnya, menghampirinya, dan dengan senyuman yang meneduhkan, ia menggenggam tangan Pak Suryadi. "Tuhan memberkatimu," bisiknya. Pak Suryadi tak mampu berkata apa-apa, hanya air mata yang mengalir di pipinya, perasaan haru yang memenuhi hatinya. "Terima kasih, Bapa Suci," lirihnya, seakan itu saja sudah cukup untuk menjadikan hidupnya sempurna.

(dari FB Mas Wahyu Hidayat II)
(dari FB Mas Wahyu Hidayat II)

Di tengah kerumunan, Anna terus memperhatikan setiap gerakan Paus. Dia berharap bisa mendekat, tapi jaraknya terlalu jauh. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa kehadiran Paus sudah cukup. Dalam doa hatinya, ia berkata, "Tuhan, melalui Paus-Mu ini, aku tahu Engkau selalu ada untukku, bahkan di saat-saat tergelapku." Dia menggenggam kalung salib ibunya lebih erat, seakan merasakan kehadiran ibunya kembali di sisinya.

Ketika Paus Fransiskus akhirnya tiba di altar yang telah disiapkan, umat bersorak, namun dengan nada yang penuh penghormatan. Mereka tak ingin kehilangan momen ketika Paus menyampaikan pesan kasih dan damai dari Allah. Paus mengangkat tangannya, dan seketika, keheningan melingkupi lautan manusia. Suaranya yang lembut namun penuh wibawa mengalun, "Saudara-saudari yang terkasih, Allah yang maha rahim selalu menyertai kita. Dia hadir dalam setiap duka, dalam setiap air mata, dan dalam setiap harapan yang kita panjatkan kepada-Nya. Jangan pernah kehilangan iman, sebab dalam kasih-Nya, kita selalu dijaga dan dilindungi."

Setiap kata yang diucapkan Paus menembus hati umat yang hadir. Mereka tahu, pesan itu bukan hanya sekadar kata-kata, tapi sebuah undangan untuk hidup dalam kasih, untuk menghidupi iman dengan lebih mendalam. Dalam momen itu, Anna merasakan sesuatu yang berbeda. Beban duka yang selama ini ia pikul, perlahan terasa lebih ringan. Ia merasa bahwa ibunya tidak pernah benar-benar pergi, bahwa kasih Allah selalu ada untuknya.

Di akhir misa, Paus Fransiskus memberikan berkat terakhirnya. "Semoga Allah memberkati kalian semua, dan membawa damai dalam hidup kalian," ucapnya dengan senyum hangat. Ketika Paus meninggalkan lapangan, umat menyanyikan lagu pujian, seolah litani kasih mengiringi kepergiannya. Anna memejamkan mata, membiarkan alunan pujian itu mengisi hatinya dengan kedamaian.

Pak Suryadi tersenyum sambil memegang tangan cucunya, merasa bahwa hidupnya telah sempurna. "Aku sudah melihatnya," gumamnya pelan. Anna, di sisi lain, merasa ada kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Kunjungan Paus Fransiskus tidak hanya menjadi momen yang membangkitkan kegembiraan, tapi juga membawa harapan, menguatkan iman, dan memperbarui kasih di hati setiap umat yang hadir.

Hari itu, umat Indonesia tahu bahwa kasih Allah sungguh nyata, melalui kehadiran seorang gembala yang membawa damai, yang menguatkan setiap jiwa yang merindukan kasih-Nya. Hari itu, ribuan Anna dan Suryadi di berbagai pelosok negeri menitikan air mata di depan layar TV atau HP yang menyiarkan live streaming misa suci. Mereka larut dalam sukacita yang tak terlukiskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun