Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kopi Pagi bersama Calon Kepala Daerah

4 September 2024   05:57 Diperbarui: 4 September 2024   05:57 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kopi Pagi Bersama Calon Kepala Daerah

Menurut data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ada 1.467 bakal pasangan calon kepala daerah yang mendaftarkan diri untuk mengikuti kontestasi pada Pilkada serentak 2024. Untuk tingkat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, ada 100 pasangan calon mendaftar.

Tentu ini menjadi sebuah perhelatan dan pesta rakyat yang amat besar. Akan ada banyak persaingan dan perang saudara menggunakan berbagai platform agar jagoan bisa menang. Ya sebuah pesta demokrasi lima tahunan dengan refrain yang sama: datang ketika membutuhkan, pergi ketika sudah mendapatkan. Ibarat datang tampak muka pergi tampak punggung.

Desain politik kita memang demikian. Pesta lima tahunan, rakyat yang punya hajatan tapi yang mendapatkan keuntungan pejabat. Rakyat didatangi kala dibutuhkan. Para calon yang diusulkan partai politik seperti datang dari dunia lain yang tugasnya menebarkan janji, tanpa beban jika janjinya hanyalah lips services agar menarik dan memenangkan pertandingan.

Saya coba ungkapkan jarak antara harapan dan kenyataan tentang janji dan realisasi dari banyak pilkada yang terjadi melalui puisi di bawah ini.

 

Di sudut warung kecil, secangkir kopi berbagi cerita,
Bukan janji muluk yang terbang di awan,
Tapi langkah kaki yang merunduk, menyapa setiap jiwa,
Mendengar keluh, memahami asa, tanpa memoles kata manis semata.

Tak datang dari menara gading, jauh dari kenyamanan,
Mereka turun ke jalan, menyusuri gang sempit kehidupan,
Bertanya apa yang dibutuhkan, bukan sekadar tampil pesona,
Sadar bahwa janji hanya berarti bila terpatri dalam karya nyata.

Kopi pagi ini menghangatkan, bukan sekadar di tangan,
Tapi di hati rakyat yang haus akan perubahan,
Mereka harap yang datang bukan hanya sekilas lalu,
Namun hadir setia, menemani perjuangan menuju harapan baru.

Puisi di atas mencerminkan kritik terhadap budaya politik yang sering kali menjadikan janji-janji kosong sebagai senjata kampanye. Dalam realitas politik, calon kepala daerah sering kali diharapkan untuk menunjukkan komitmen nyata dan bukan sekadar menyampaikan janji yang sulit diwujudkan. 

Puisi ini mengajak calon pemimpin untuk turun langsung ke masyarakat, memahami masalah di akar rumput, dan menawarkan solusi yang realistis. Ini merupakan seruan untuk politik yang lebih partisipatif dan berorientasi pada pelayanan publik, di mana seorang pemimpin dinilai dari tindakan nyata, bukan retorika belaka.

Dari sudut pandang hukum, puisi ini bisa dianggap sebagai seruan untuk transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan. Hukum yang mengatur kampanye politik sering kali menekankan pentingnya keterbukaan dan kejujuran. 

Namun, kenyataannya, banyak calon yang masih terjebak dalam praktik-praktik yang tidak etis, seperti memberikan janji palsu untuk memenangkan suara. Puisi ini mengkritik kecenderungan ini, menegaskan bahwa janji-janji politik harus disertai dengan komitmen hukum untuk menepatinya, sehingga kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dapat terjaga.

Secara sosiologis, puisi ini menggambarkan harapan masyarakat terhadap figur pemimpin yang mampu mendekatkan diri dengan rakyat. Ini menunjukkan adanya kebutuhan masyarakat untuk merasa didengarkan dan diperhatikan oleh pemimpin mereka. 

Kesenjangan antara pemimpin dan masyarakat sering kali menjadi isu sosial yang mendalam, di mana pemimpin dianggap hidup dalam "menara gading" dan terpisah dari realitas yang dihadapi rakyat sehari-hari. 

Puisi ini menyerukan agar pemimpin lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat dan melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan sosial mereka, menciptakan hubungan yang lebih erat dan saling menguntungkan.

Dari segi psikologi, puisi ini menyoroti pentingnya empati dan koneksi emosional antara pemimpin dan masyarakat. Ketika seorang calon kepala daerah turun ke lapangan, mendengarkan dan memahami kebutuhan masyarakat, hal ini menciptakan ikatan emosional yang kuat. 

Masyarakat tidak hanya merasa diperhatikan, tetapi juga dihargai sebagai individu. Puisi ini menggambarkan bahwa pemimpin yang mampu menyapa dan mendengarkan dengan tulus akan lebih berhasil memenangkan hati rakyat, bukan melalui janji-janji besar, tetapi melalui kehadiran dan perhatian yang nyata. Empati ini adalah kunci dalam membangun kepercayaan dan dukungan yang tulus dari masyarakat.

Singkatnya, puisi "Kopi Pagi Bersama Calon Kepala Daerah" menawarkan refleksi tentang harapan masyarakat terhadap pemimpin yang berintegritas, dekat dengan rakyat, dan mampu menepati janji-janji yang mereka buat. 

Puisi ini menjadi cerminan keinginan kolektif untuk melihat perubahan nyata dalam proses politik yang lebih inklusif, akuntabel, dan manusiawi. Sehingga bangsa ini tidak mengulang terus "dosa dan kesalahan" yang sama setiap lima tahun secara turun temurun seperti kekuasaan yang juga sering diwariskan bagai dinasti tanpa bisa ditolak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun