Namun, meski sering ditolak, Arya tak pernah merasa malu. Dia percaya bahwa rasa malu adalah musuh dari ambisi. Baginya, kegagalan adalah bagian dari perjalanan menuju sukses. Setiap penolakan hanya membuatnya semakin bertekad untuk mencoba lagi, bahkan jika itu berarti harus mengetuk pintu yang sama berulang kali.
Pada suatu malam yang dingin, ketika kota itu sedang diliputi kabut tebal, Arya duduk sendirian di sebuah bangku taman. Dia memandang ke langit, yang tersembunyi di balik kabut, dan merenungkan perjalanannya yang panjang dan melelahkan. Meski tak ada partai yang benar-benar memberinya kesempatan, meski semua janji hanyalah angin yang berlalu, Arya tetap merasa bahwa ia masih berada di jalan yang benar.
"Mungkin suatu hari nanti, mereka akan melihat apa yang aku lihat dalam diriku," pikirnya, mencoba menghibur diri.
Dan begitu, malam itu berlalu, sama seperti malam-malam sebelumnya. Arya bangkit dari bangku taman itu, merapikan jaketnya, dan berjalan pulang. Ia tahu bahwa besok adalah hari baru, dan ia akan kembali berusaha, tanpa rasa malu, tanpa menyerah. Karena bagi Arya, harapan adalah satu-satunya hal yang lebih kuat dari masa lalu, dan ia tak akan berhenti hingga takdirnya ditemukan.
Arya mungkin bukan pria yang sempurna, tapi ia adalah seorang petualang cinta yang tak pernah lelah mencari, meski tahu bahwa cinta itu mungkin tak pernah benar-benar ada untuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H