Kopi dan Kaderisasi
Dengan berlakunya Keputusan MK 20 Agustus lalu tentang ambang batas pencalonan (treshold) dan batas maksimal dan batas minimal usia calon memungkinkan PDIP dan partai lain yang tidak bergabung dalam KIM Plus bisa menentukan calonnya sendiri. Menanggapi keputusan itu, PDIP segera menetapkan sejumlah calon kepala daerah di seluruh Indoenesia. Dan salah satu yang paling menarik perhatian adalah pencalonan kepala daerah DKI Jakarta.
Sempat banyak beredar kabar bahwa Anies Baswedan - yang tiba-tiba ditinggalkan oleh PKS dan Nasdem -- akan dicalonkan oleh PDIP. Namun hingga pendaftaran yang dilakukan di kantor KPUD, nama Anies Baswedan tidak ada. Yang ada justru kader partai sendiri yakni Pramono Anung -- Sekretaris Kabinet -- dan Rano Karno. Keduanya kader PDIP -- yang bersama sejumlah kader PDIP lainnya akan meramaikan dinamika politik lima tahun ke depan.
Keberanian PDIP untuk memilih kadernya sendiri saya tuangkan dalam puisi kopi dan kaderisari. Kopi melambangkan perjuangan yang berat (pahit), berdarah-darah, tidak mudah (tidak manis) karena seorang calon hanya bisa terpilih jika dipilih oleh rakyat. Beratnya meraih kepercayaan rakyat, saya analogikan seperti minum kopi tanpa gula, meski terasa pahit tapi nikmat, meski kader partai kalah, mereka tetap bermartabat karena konsisten untuk mengutamakan kader.
Di meja kopi partai kami berkumpul,
Tempat dididik kami dalam asam garam,
Belajar melayani, tak kenal lelah,
Demi bonum commune, kesejahteraan umum,
Kami melebur, jadi satu dalam misi,
Di sini, bukan cuma sekadar nama.
Kaderisasi, rumah kami bertumbuh,
Dalam perjuangan, kami belajar berdarah,
Potensi kalah tak pernah jadi alasan,
Karena kami tak datang dari luar pagar,
Kami yang terpilih, meski angin badai,
Karena kesetiaan tak pernah hilang arah.
Pramono dan Rano, lambang dedikasi,
Dalam sejarah partai, jejak mereka tertulis,
Tak mudah untuk memilih, tapi kami teguh,
Kader lebih berharga dari gemerlap luar,
Dalam partai, kami terus melangkah,
Kopi dan kaderisasi, kunci dari semua.
Puisi "Kopi dan Kaderisasi" di atas secara efektif berusaha menangkap esensi dari proses kaderisasi dalam partai politik, khususnya dalam konteks pencalonan pemimpin daerah seperti bupati dan gubernur. Positifnya, puisi ini menggambarkan dengan baik pentingnya kesetiaan dan komitmen para kader yang telah berdedikasi untuk partai. Penggambaran perjuangan kader yang "berdarah-darah" menunjukkan bahwa mereka tidak hanya sekadar simbol atau pelengkap, tetapi sebagai aset yang telah melalui proses panjang untuk memahami visi dan misi partai. Ini penting karena mencerminkan bagaimana kaderisasi dapat membentuk pemimpin yang memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai partai dan kesejahteraan umum.
Namun, dari sisi negatif, puisi ini juga menyoroti potensi kekurangan dalam sistem kaderisasi yang terlalu eksklusif. Dengan terlalu mengutamakan kader internal, partai politik mungkin kehilangan kesempatan untuk mengusung calon yang lebih kompeten atau populer dari luar partai, yang bisa memenangkan pemilihan dan membawa dampak positif lebih besar. Hal ini dapat memicu kritik bahwa partai politik terkadang mengutamakan loyalitas daripada kompetensi, yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan publik dan mengurangi daya saing partai itu sendiri.
Dari segi psikologi, menurut ahli seperti Abraham Maslow dengan teori kebutuhan hierarkinya, kaderisasi dalam partai memberikan rasa memiliki dan aktualisasi diri kepada para kader. Mereka yang telah melewati proses kaderisasi merasa diakui dan diprioritaskan, yang secara psikologis meningkatkan motivasi mereka untuk berkontribusi lebih banyak. Namun, ahli psikologi politik seperti Leon Festinger juga menekankan potensi disonansi kognitif jika kader yang kurang kompeten dipilih hanya karena loyalitas, dapat mengakibatkan ketidakpuasan baik di internal partai maupun di masyarakat.
Dari perspektif sosiologi dan politik, Maurice Duverger, seorang sosiolog politik, menekankan bahwa partai politik yang kuat harus memiliki sistem kaderisasi yang baik untuk menciptakan pemimpin yang dapat mempertahankan kontinuitas ideologi dan kebijakan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa terlalu mengutamakan kader internal dapat mengisolasi partai dari dinamika sosial yang lebih luas, sehingga memperlemah daya tarik partai di masyarakat. Dari segi hukum, ahli seperti Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menyoroti pentingnya partai politik untuk tidak hanya fokus pada internal kaderisasi tetapi juga memperhatikan aturan hukum dalam proses pencalonan, memastikan bahwa pemilihan calon tetap berlandaskan meritokrasi dan transparansi.
Catatan ini juga penting untuk diperhatikan oleh semua partai politik. Dengan demikian partai akan memilih kadernya yang memang layak dan pantas (sesuai system merit), punya kapasitas dan kapabilitas. Semoga para kader (dari partai manapun) dapat menjalankan amanah rakyat yang dipercayakan kepada mereka. Setelah terpilih, bekerjalah untuk rakyat, bukan untuk partai. Jika tidak terpilih, jangan menyalahkan rakyat, tetapi perkuat kapasitas secara internal di dalam partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H