Leviana: Jejak yang Tersisa
Kota kecil itu masih tertutup kabut pagi, kala Leviana, seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, menatap keluar jendela kamar kosnya dengan tatapan kosong. Sejak kehilangan kedua orang tuanya di usia sekolah dasar, hidupnya terasa seperti sebuah perjalanan tanpa arah. Meski dia sudah membangun kembali hidupnya dengan tekad dan kerja keras, luka yang ditinggalkan oleh tragedi itu masih menyisakan bekas yang mendalam.
Kehidupan Leviana mulai berubah ketika dia masuk ke universitas. Di sana, dia bertemu Adrian---seorang pemuda dengan senyum yang menyegarkan dan sikap yang penuh perhatian. Mereka cepat menjadi teman dekat, dan keakraban mereka berkembang menjadi sebuah hubungan romantis. Leviana merasa, akhirnya, ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.
Namun, kebahagiaan yang dia rasakan hanya bersifat sementara. Seiring berjalannya waktu, tabiat asli Adrian mulai terlihat. Awalnya, Leviana tidak terlalu memperhatikannya---hanya beberapa kebiasaan buruk yang bisa dianggap remeh. Adrian mulai sering merokok dan berjudi, kebiasaan yang semakin mengganggu.
"Leviana, aku cuma butuh sesekali merokok untuk menenangkan diri," kata Adrian suatu malam, saat bau asap rokok memenuhi ruangan mereka.
"Adrian, aku merasa tidak nyaman dengan ini. Aku ingin kita punya kehidupan yang sehat dan positif," jawab Leviana dengan nada penuh kekhawatiran.
Adrian hanya tertawa kecil. "Kau terlalu serius. Lagipula, aku tidak melakukan hal-hal buruk."
Namun, masalahnya tidak berhenti di situ. Adrian mulai mabuk-mabukan, sering pulang larut malam dengan keadaan yang tidak beres. Leviana merasa terasing dalam hubungan yang seharusnya memberinya dukungan. Setiap kali Adrian pulang dengan kondisi mabuk, dia membawa serta kemarahan yang tidak terkendali.
Suatu malam, setelah sebuah perdebatan kecil, Adrian mendekat ke Leviana dengan tatapan marah. "Kau tidak pernah mengerti aku! Semua yang kau lakukan adalah mengeluh!"
Leviana, merasa ketakutan, mencoba untuk menjelaskan. "Adrian, aku hanya ingin kita saling memahami dan mendukung satu sama lain. Kenapa kamu harus marah seperti ini?"