Secara sosiologis, aksi protes ini adalah bentuk solidaritas sosial yang muncul ketika nilai-nilai bersama dilanggar oleh mereka yang berkuasa. Sosiolog Emile Durkheim mengemukakan bahwa solidaritas adalah kekuatan yang mengikat individu dalam masyarakat, dan ketika nilai-nilai fundamental seperti keadilan dan kesetaraan terancam, aksi kolektif seperti demonstrasi menjadi sarana untuk memulihkan keseimbangan sosial. Dalam konteks ini, mahasiswa bertindak sebagai agen perubahan yang berusaha mengembalikan tatanan sosial yang adil dan bermartabat.
Dari perspektif hukum dan politik, puisi ini menyinggung persoalan mendasar tentang pelanggaran konstitusi oleh penguasa. Ahli hukum konstitusi seperti Prof. Mahfud MD berpendapat bahwa konstitusi adalah fondasi dari negara hukum, dan ketika konstitusi dilanggar, legitimasi pemerintahan dipertanyakan. Demonstrasi mahasiswa dalam puisi ini bisa dilihat sebagai bentuk kontrol sosial dan politik, di mana rakyat, melalui mahasiswa, berperan aktif dalam mengawasi dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin.
Dari segi spiritual, perjuangan yang digambarkan dalam puisi ini dapat dilihat sebagai bentuk pencarian akan kebenaran dan keadilan yang lebih tinggi. Teolog seperti Dietrich Bonhoeffer menekankan bahwa setiap tindakan melawan ketidakadilan adalah bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual manusia. Dalam pandangan ini, aksi mahasiswa adalah manifestasi dari panggilan spiritual untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang melampaui kepentingan duniawi, sebagai bentuk pengabdian kepada prinsip-prinsip moral yang lebih tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H