Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Ujung Negeri

19 Agustus 2024   17:38 Diperbarui: 19 Agustus 2024   17:38 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagus, Bu. Seperti biasa, meriah," jawab Limalio dengan nada yang dibuat-buat ceria.

Ibunya hanya mengangguk pelan, seakan sudah tahu bahwa ada sesuatu yang mengganjal di hati anaknya. "Semoga tahun depan, kita bisa merasakan kemerdekaan yang sebenarnya, ya, Nak," katanya dengan nada penuh harap.

Limalio mengangguk tanpa kata. Ia tahu apa yang ibunya maksudkan. Kemerdekaan yang diimpikan mereka bukanlah sekadar merdeka dari penjajahan, tetapi merdeka dari keterbelakangan, kemiskinan, dan ketidakadilan yang terasa begitu nyata di tempat ini.

Malamnya, setelah makan malam yang sederhana, Limalio duduk di depan rumah, menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan. Di tempat yang jauh dari cahaya lampu kota, bintang-bintang itu terlihat sangat jelas, seolah dekat dan bisa diraih. Tapi Limalio tahu, bintang-bintang itu sama jauhnya dengan impian-impian yang ada di hatinya.

Tiba-tiba, Limalio mendengar suara deru motor dari kejauhan. Suara itu semakin mendekat, hingga akhirnya berhenti di depan rumahnya. Limalio bangkit berdiri dan melihat seorang lelaki muda turun dari motor. Itu adalah Limawana, temannya yang sudah lama pergi ke kota.

(ilustrasi suasana desa yang sederhana dan kota yang glamour. dokpri: GemAIBOT)
(ilustrasi suasana desa yang sederhana dan kota yang glamour. dokpri: GemAIBOT)

"Limawana?" panggil Limalio, setengah tidak percaya.

"Ya, ini aku, Lio," jawab Limawana sambil tersenyum lelah. "Aku kembali."

Limalio mendekati temannya dan mereka saling berpelukan. Setelah saling bertukar kabar, Limawana menceritakan pengalamannya di kota. Ternyata, hidup di kota tidak semudah yang dibayangkannya. Di sana, Limawana hanya menjadi seorang buruh kasar yang dibayar dengan upah rendah. Ketika ia jatuh sakit, tidak ada yang peduli padanya. Akhirnya, dengan sisa uang yang ia punya, Limawana memutuskan untuk pulang.

"Di kota, aku merasa lebih terasing, Lio. Tidak ada yang benar-benar peduli. Aku merasa, di sini, meskipun serba kekurangan, setidaknya kita masih punya rasa kebersamaan," kata Limawana.

Limalio mengangguk. Ia bisa merasakan betapa sulitnya pilihan yang diambil temannya itu. Tapi ada satu hal yang membuat Limalio merasa sedikit lega, bahwa ia tidak sendiri dalam perasaannya. Bahwa meskipun berada di ujung negeri, di tempat yang sering dilupakan, mereka tetap punya sesuatu yang tidak bisa ditemukan di kota besar---kehangatan dan kebersamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun