Di Ujung Negeri
Limalio berdiri di tepi pantai, matanya yang gelap menatap lautan yang membentang luas. Di kejauhan, sebuah kapal nelayan kecil bergoyang pelan, seakan melambai padanya. Hari ini adalah hari kemerdekaan Indonesia, namun bagi Limalio, kata "merdeka" hanyalah sebatas berita yang ia dengar dari desa tetangga atau dari siaran radio tua di rumahnya yang kadang-kadang menangkap sinyal. Di sini, di ujung negeri, kemerdekaan itu seperti bayang-bayang yang jauh dari jangkauan.
Pagi tadi, Limalio mencoba menghubungkan ponselnya yang sudah usang ke internet menggunakan sinyal yang lemah. Ia ingin melihat bagaimana bangsa besar ini merayakan hari jadinya yang ke-79. Setelah berjuang dengan sinyal yang putus-nyambung, akhirnya ia berhasil membuka YouTube dan menemukan siaran langsung upacara bendera di ibu kota. Pemandangan itu begitu kontras dengan kehidupannya: jalan raya yang mulus, gedung-gedung tinggi yang megah, dan orang-orang yang mengenakan pakaian rapi berbaris dengan penuh hormat di depan bendera merah putih yang berkibar gagah.
Sebuah suara dari speaker kecil di ponselnya terdengar, lantunan lagu kebangsaan mengiringi pengibaran bendera. Limalio menatap layar itu dengan campuran perasaan bangga dan perih. Betapa megahnya bangsa ini, pikirnya. Tapi kenapa di sini, di perbatasan selatan yang jauh dari pusat kekuasaan, kehidupan begitu sulit?
Limalio menengadah, menatap langit yang cerah. Tidak ada awan yang menggantung, hanya biru yang luas. Namun, di balik keindahan alam yang membingkai hidupnya, ada kenyataan pahit yang selalu menghantuinya. Desa tempat tinggalnya hanya memiliki satu sekolah dasar yang kondisinya memprihatinkan. Sekolah itu sering kekurangan guru, dan buku pelajaran yang mereka punya adalah buku-buku lama yang sudah robek dan lusuh. Ketika Limalio lulus dari sekolah dasar, ia tidak punya pilihan selain membantu orang tuanya di ladang. Pendidikan menengah terasa seperti mimpi yang terlalu mahal untuk diwujudkan.
Limalio menurunkan pandangannya ke tanah, ke jejak-jejak kakinya di pasir yang basah. Ia teringat percakapan terakhirnya dengan seorang temannya, Limawana, yang beberapa bulan lalu memutuskan untuk meninggalkan desa. Limawana bilang, "Kita tidak bisa terus hidup begini, Limalio. Di sini kita tidak punya masa depan. Aku akan mencoba peruntungan di kota, meski harus jadi buruh kasar."
Limalio mengerti perasaan temannya itu, tapi ia tidak bisa pergi. Ibunya yang sudah tua dan ayahnya yang sakit-sakitan membutuhkan bantuannya. Mereka hanya memiliki ladang kecil yang menghasilkan cukup makanan untuk bertahan hidup, dan itu pun harus dibagi dengan keluarga besarnya. Di sini, bertahan hidup sudah merupakan sebuah perjuangan.
Ketika ponselnya mulai menampilkan gambar yang terputus-putus karena sinyal yang melemah, Limalio akhirnya menutupnya. Ia berjalan kembali ke rumah, melewati jalan setapak yang dipenuhi batu dan kerikil. Di sepanjang perjalanan, ia bertemu dengan beberapa tetangganya yang juga sedang menatap layar ponsel, mencoba merasakan kebanggaan yang sama dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang di ibu kota. Tapi Limalio tahu, dalam hati mereka, ada rasa kecewa yang sama seperti yang ia rasakan.
Di rumah, ibu Limalio sedang memasak ubi di tungku kayu. Bau asap yang keluar dari dapur menguar memenuhi ruangan. Ibu Limalio menatap anaknya dengan pandangan penuh kasih sayang namun juga kekhawatiran yang dalam.
"Bagaimana upacaranya, Lio?" tanya ibunya sambil tersenyum tipis.