Bu Nina hanya mengangguk pelan, senyum lelahnya masih tertinggal di wajah. "Leguderu sudah banyak berubah, Nak. Teman-temanmu sudah banyak yang pergi, entah ke mana. Tapi aku tetap di sini, menjaga kenangan kalian."
Dony menghabiskan sore itu dengan mendengarkan cerita Bu Nina tentang keadaan desa, tentang teman-temannya yang sebagian besar sudah pindah ke kota atau bahkan ke luar negeri. Beberapa dari mereka sudah tidak ada, meninggalkan dunia tanpa sempat berpamitan.
Namun, satu cerita membuat hati Dony berdebar-debar. "Dela... gadis kecil itu, apakah Ibu tahu di mana dia sekarang?" tanyanya penuh harap.
Bu Nina terdiam sejenak. "Dela? Ah, Dela... ia sangat ingin bertemu denganmu, Nak. Sudah lama ia menunggu, tapi mungkin nasib berkata lain."
"Nasib?" Dony bingung.
"Kamu harus ke Natasule, ke rumah tua di ujung desa. Di sanalah jawabanmu."
Dengan perasaan tidak menentu, Dony berjalan menuju Natasule, kampung yang jaraknya tak jauh dari pusat desa. Rumah tua yang dimaksud Bu Nina berdiri di ujung jalan kecil yang sepi. Ketika Dony sampai di depan pintu, ia merasakan hawa dingin yang merambat di kulitnya.
Dony mengetuk pintu kayu yang sudah usang. Tidak ada jawaban. Pintu itu sedikit terbuka, dan dengan rasa penasaran yang mengalahkan keraguannya, Dony mendorong pintu itu lebih lebar. Ia melangkah masuk ke dalam rumah yang gelap dan dingin. Di sana, di sebuah kamar yang remang-remang, Dony melihat sosok yang tidak pernah disangkanya akan ditemuinya lagi.
Dela, gadis kecil yang dulu selalu menjadi teman setianya, duduk di tepi ranjang dengan wajah yang pucat. Namun, ada sesuatu yang aneh. Dela tampak persis seperti yang Dony ingat, seolah-olah waktu tidak pernah menyentuhnya. Wajahnya tetap muda, senyum manis itu masih sama.
"Dela..." bisik Dony, kakinya terasa berat untuk melangkah lebih dekat. Gadis itu menoleh, dan seketika senyum yang Dony rindukan itu muncul. "Dony, kamu akhirnya kembali."
"Bagaimana bisa...? Kamu terlihat sama seperti dulu," suara Dony bergetar. Ia tidak mengerti apa yang terjadi.