Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kopi di Malam 17 Agustus

17 Agustus 2024   22:22 Diperbarui: 17 Agustus 2024   22:26 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilutrasi tentang kemegahan istana, dokpri: GemAIBOT)

Kenangan perayaan 17 Agustus akan segera berlalu. Euphorianya akan segera berakhir. Kita segera kembali hidup normal, sambil membawa nilai-nilai kepahlawanan dalam hidup. Sebuah pertanyaan reflektif yang patut diajukan adalah "Apa yang mesti dilakukan oleh negara setelah hajatan syukuran yang menelan biaya puluhan miliar? Apa dampak konkretnya bagi rakyat? Apa pengaruhnya bagi para pejabat? Dan masih banyak litani tanya yang mestinya di-breakdown oleh para pemangku jabatan sehubungan dengan mahalnya biaya perhelatan 17 Agustus.

Sebelum mengakhiri hari ini, saya ingin menuliskan sebuah refleksi atas kegundahan saya atas upacara kemerdekaan melalui puisi berikut ini. Ini hanyalah satu satu bentuk partisipasi tidak aktif dalam hidup bernegara, karena negara menjamin kebebasan berpendapat.

Kopi di Malam 17 Agustus

Dua istana bercahaya, gemerlap malam purnama,
Di Jakarta dan Kalimantan, pesta megah digelar,
Biaya melangit, riuh rendah sorak sorai,
Dulu darah dan keringat jadi tumbal, kini seremoni yang diagung-agungkan.

Kopi di tangan, pahitnya menyelinap di antara tawa,
Apakah kemerdekaan harus semeriah ini?
Di luar sana, rakyat berjuang dengan lapar dan lelah,
Namun di sini, sorotan kamera dan tawa tak henti mengisi layar.

Esensi perayaan, terbuai dalam gemerlap,
Apa yang ingin disampaikan di tengah kesulitan?
Di saat perut rakyat masih kerap kosong,
Adakah makna di balik pesta yang menggema?

 

Mari kita coba mendalami puisi di atas dari beberapa perspektif, yang menurut saya layak kita angkat untuk memaknai gegap gempita pesta kemerdekaan yang dirayakan oleh Presiden Joko Widodo secara besar-besaran di IKN. Tidak ada yang salah demi sebuah kebanggaan bagi bangsa. Tapi apakah kebanggaan itu hanya sebatas perasaan senang secara lahiriah atau sesuatu yang lebih spiritual yang mempersatukan kita sebagai satu bangsa? Mari kita coba menyelami puisi di atas melalui beberapa aspek berikut ini.   


Pertama, dari sudut pandang politik, melalui puisi ini saya ingin menyoroti perbedaan antara semangat perjuangan kemerdekaan dahulu dan cara perayaannya di masa kini. Dulu, kemerdekaan diraih dengan pengorbanan besar---darah dan keringat para pejuang. Namun, kini perayaan kemerdekaan lebih sering diisi dengan seremoni megah yang melibatkan anggaran besar dari negara. Di sini, kritik tersirat tentang bagaimana alokasi sumber daya negara, yang seharusnya lebih diprioritaskan untuk kepentingan rakyat banyak, malah digunakan untuk acara-acara simbolis yang megah. Menurut ahli politik seperti Miriam Budiardjo, kekuasaan seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar pencitraan yang jauh dari realitas keseharian masyarakat.

Kedua, dari perspektif sosiologi, melalui puisi ini saya ingin mengangkat isu ketimpangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Perayaan kemerdekaan yang mewah di dua istana negara mencerminkan ketidakseimbangan antara elit politik dan masyarakat biasa. Sementara sebagian kecil menikmati kemewahan dan kemeriahan, banyak rakyat masih bergelut dengan kesulitan ekonomi. Ahli sosiologi seperti Pierre Bourdieu menekankan bahwa kesenjangan sosial seringkali diperkuat oleh praktik-praktik simbolis yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan, termasuk dalam bentuk seremoni negara.

Ketiga, dari sisi psikologi, puisi ini hendak menggambarkan rasa keterasingan dan frustrasi yang mungkin dirasakan oleh rakyat jelata. Melihat kemeriahan yang dirayakan oleh mereka yang berada di atas, sementara mereka sendiri bergulat dengan kesulitan, bisa menimbulkan perasaan tidak berdaya dan ketidakpuasan. Ahli psikologi sosial seperti Martin Seligman mengungkapkan bahwa perasaan ketidakberdayaan ini bisa berkembang menjadi apatisme, di mana rakyat merasa bahwa upaya mereka untuk memperbaiki kehidupan tidak akan berpengaruh. Ini menciptakan jurang emosional antara rakyat dan pemimpin mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun