KOPI KAMIS PAGI YANG DINGIN
Di tengah dingin kopi Kamis pagi,
Polemik istana baru hangat di mulut,
Istana kolonial lama bercerita,
Bertahun-tahun tidur nyaman,
Kini dicela tanpa rasa terima kasih.
Gemericik kopi menambah dingin,
Kata sesal penuh kepahitan,
Istana tua dengan kenangan,
Dianggap peninggalan yang layak dibuang,
Habis manis sepah dibuang.
Namun, di balik dinding lama,
Masih ada cerita dan sejarah,
Kita mungkin lupa, namun istana tetap,
Menjaga jejak di bumi ini,
Sekalipun kita enggan mengingat.
Ketika kita merasa nyaman, apapun di masa lalu selalu terasa indah sekalipun mungkin di dalamnya pernah bersimbah darah para pejuang. Tetapi ketika kita memiliki ambisi yang baru atau mencoba yang baru bahkan mendapatkan yang baru, segala yang lama terasa sangatlah buruk di matas.Â
Begitu juga dengan polemik tentang istana warisan kolonial dan istana warisan putra bangsa. Saya mencoba untuk menggarisbawahi puisi saya di atas dalam dua sudut pandang, psikologis dan sosiologis.
Secara psikologis, puisi ini hendak mengangkat tema konflik batin yang dialami individu atau kelompok ketika mereka menghadapi kontradiksi antara kenangan nyaman di masa lalu dan kritikan terhadap simbol-simbol lama yang dulu memberi keamanan.Â
Hal ini dapat dijelaskan melalui teori disonansi kognitif oleh Leon Festinger, yang menyatakan bahwa ketidakselarasan antara keyakinan dan tindakan dapat menimbulkan ketidaknyamanan emosional.Â
Dalam konteks puisi ini, disonansi terjadi ketika seseorang merasa harus mengkritik warisan kolonial, meskipun di masa lalu mereka merasakan kenyamanan yang disediakan oleh simbol tersebut. Rasa bersalah atau sesal yang tercermin dalam bait-bait puisi menjadi cerminan dari ketegangan batin ini.
Dari perspektif sosiologis, puisi ini mencerminkan dinamika masyarakat dalam merespons warisan sejarah, terutama yang berkaitan dengan kolonialisme. Pierre Bourdieu dalam konsepnya tentang "habitus" menjelaskan bahwa pengalaman masa lalu dan struktur sosial memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak di masa kini.Â
Masyarakat yang lama terbiasa dengan simbol-simbol kolonial mungkin masih memiliki "habitus" yang memengaruhi pandangan mereka terhadap istana hasil karya tangan putra bangsa dan warisan kolonial tersebut.Â
Ketika ada dorongan untuk memutuskan keterikatan dengan simbol-simbol ini, muncul perdebatan internal dan eksternal yang mencerminkan perubahan dalam struktur sosial dan nilai-nilai masyarakat.
Puisi ini juga menyinggung fenomena "habis manis sepah dibuang," yang menunjukkan kecenderungan manusia untuk melupakan kontribusi masa lalu setelah tidak lagi dianggap relevan. Ahli sosiologi, Max Weber, melalui teorinya tentang rasionalisasi, menjelaskan bagaimana masyarakat modern cenderung bergerak menuju penilaian yang semakin rasional dan efisien, meninggalkan aspek-aspek emosional atau historis yang dulu dihargai.Â
Dalam konteks puisi, hal ini tercermin dalam kecenderungan masyarakat untuk mencela simbol-simbol kolonial setelah bertahun-tahun menikmati keuntungannya, sebuah manifestasi dari proses rasionalisasi di mana warisan sejarah sering kali dinilai berdasarkan kegunaannya di masa kini.
Pandangan para ahli tersebut semoga bisa memperkaya pemahaman kita akan puisi ini, yang tidak hanya berbicara tentang konflik individu, tetapi juga tentang perubahan sosial dan dinamika kekuasaan yang terjadi di masyarakat. Melalui puisi ini, saya mengajak untuk merenungkan bagaimana sejarah dan kenangan memengaruhi tindakan dan sikap kita di masa kini.Â
Apakah kita benar-benar memahami dan menghargai masa lalu, atau kita hanya melupakan setelah manfaatnya habis? Ini adalah pertanyaan yang penting dalam menghadapi perubahan besar seperti perpindahan ibu kota, di mana identitas nasional dan sejarah berperan besar dalam membentuk masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H