Masyarakat yang lama terbiasa dengan simbol-simbol kolonial mungkin masih memiliki "habitus" yang memengaruhi pandangan mereka terhadap istana hasil karya tangan putra bangsa dan warisan kolonial tersebut.Â
Ketika ada dorongan untuk memutuskan keterikatan dengan simbol-simbol ini, muncul perdebatan internal dan eksternal yang mencerminkan perubahan dalam struktur sosial dan nilai-nilai masyarakat.
Puisi ini juga menyinggung fenomena "habis manis sepah dibuang," yang menunjukkan kecenderungan manusia untuk melupakan kontribusi masa lalu setelah tidak lagi dianggap relevan. Ahli sosiologi, Max Weber, melalui teorinya tentang rasionalisasi, menjelaskan bagaimana masyarakat modern cenderung bergerak menuju penilaian yang semakin rasional dan efisien, meninggalkan aspek-aspek emosional atau historis yang dulu dihargai.Â
Dalam konteks puisi, hal ini tercermin dalam kecenderungan masyarakat untuk mencela simbol-simbol kolonial setelah bertahun-tahun menikmati keuntungannya, sebuah manifestasi dari proses rasionalisasi di mana warisan sejarah sering kali dinilai berdasarkan kegunaannya di masa kini.
Pandangan para ahli tersebut semoga bisa memperkaya pemahaman kita akan puisi ini, yang tidak hanya berbicara tentang konflik individu, tetapi juga tentang perubahan sosial dan dinamika kekuasaan yang terjadi di masyarakat. Melalui puisi ini, saya mengajak untuk merenungkan bagaimana sejarah dan kenangan memengaruhi tindakan dan sikap kita di masa kini.Â
Apakah kita benar-benar memahami dan menghargai masa lalu, atau kita hanya melupakan setelah manfaatnya habis? Ini adalah pertanyaan yang penting dalam menghadapi perubahan besar seperti perpindahan ibu kota, di mana identitas nasional dan sejarah berperan besar dalam membentuk masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H