Hari demi hari berlalu, dan tambang itu terus ditarik ulur, tanpa ada yang benar-benar memenangkan permainan ini. Berbeda dengan tarik tambang di kampung yang penuh canda dan tawa, di sini tidak ada rasa kebersamaan, melainkan negosiasi tanpa henti dan kepentingan pribadi yang tak pernah surut.
Akhirnya, kesepakatan pun tercapai, meski tanpa perasaan puas di kedua belah pihak. Pemerintah mendapatkan sebagian dari apa yang mereka inginkan, begitu pula ormas tersebut. Namun, tambang tak kasatmata itu masih ada, menunggu waktu kapan akan ditarik kembali, siap untuk permainan berikutnya.
Di kampung, senja mulai turun. Anak-anak dan orang dewasa berkumpul, makan bersama, berbagi cerita tentang betapa serunya lomba tadi siang. Sementara itu, di ruang rapat yang dingin dan sunyi, beberapa pejabat dan perwakilan ormas pulang ke rumah masing-masing, berpikir tentang bagaimana langkah mereka selanjutnya.
Di sinilah perbedaan antara dua tarik tambang itu terlihat jelas. Satu tentang kebersamaan dan semangat, sementara yang lain tentang kepentingan dan kekuasaan. Tapi, mungkin keduanya sama-sama mengajarkan satu hal: bahwa dalam hidup ini, terkadang kita harus menarik tambang, dan terkadang kita harus mengalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H