TAMBANG DI KAMPUNG DAN DI KOTA
Di kampung-kampung hari-hari ini amat ramai, suasana begitu meriah setiap bulan Agustus. Bulan Agustus adalah bulan yang dinanti-nanti oleh semua warga: Pesta Rakyat untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan Indonesia. Anak-anak hingga orang dewasa, laki-laki maupun perempuan, semua bersemangat menyambut lomba tarik tambang. Di tengah lapangan, dua tim berlawanan telah siap. Keringat mengalir di wajah, tangan menggenggam erat tambang tebal yang panjang, seakan-akan nasib mereka ditentukan oleh seutas tali itu. Sorak-sorai warga semakin menggema saat aba-aba dimulai.
"Tarik...! Tarik...!" teriakan penuh semangat itu menggema.
Setiap tim mengerahkan segenap tenaga, wajah-wajah tegang, dan urat-urat yang menonjol di lengan mereka menandakan betapa seriusnya mereka dalam perlombaan ini. Mereka berjuang bukan untuk hadiah besar, tetapi demi harga diri, demi keseruan, dan demi kebanggaan bahwa mereka bisa menarik tambang lebih kuat dari tim lawan.
Dan ketika salah satu tim akhirnya kalah, tidak ada rasa marah atau dendam. Mereka tertawa bersama, saling mengulurkan tangan, saling merangkul, dan menepuk bahu satu sama lain. Bagi mereka, inilah makna sebenarnya dari tarik tambang: kebersamaan dan kerja sama.
Namun, di tempat lain, di sebuah ruang rapat yang besar di pusat kota, sebuah "tarik tambang" lain sedang berlangsung. Di sini, bukan kekuatan fisik yang diuji, tetapi kekuatan pengaruh dan kepentingan. Seutas tambang yang tak kasatmata membentang di antara dua pihak: pemerintah dan sebuah ormas keagamaan besar.
Di satu sisi, pemerintah berusaha menarik tambang itu dengan kebijakan baru yang diklaim untuk kebaikan lingkungan. Mereka berbicara tentang perlindungan alam, keberlanjutan, dan masa depan yang lebih hijau. Di sisi lain, ormas keagamaan menarik tambang dengan tuntutan mereka. Bagi mereka, persoalannya bukan soal keberpihakan pada lingkungan semata, tetapi lebih kepada apa yang mereka dan para anggotanya akan dapatkan dari kesepakatan ini.
Setiap kali pemerintah menarik tambang, ormas itu mengendurkannya, bertanya, "Apa yang bisa kami dapatkan? Bagaimana dengan kebutuhan kami?" Pemerintah kemudian memberikan sedikit kelonggaran, namun begitu mereka merasa memiliki kendali, ormas tersebut kembali menarik tambang ke arah mereka, menegaskan kekuatan mereka dalam komunitas.
"Ini bukan hanya tentang lingkungan," kata seorang perwakilan ormas dalam rapat itu. "Ini tentang keadilan dan kesejahteraan anggota kami."