Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Politik Dinasti seperti Cendawan di Musim Hujan

5 Agustus 2024   16:42 Diperbarui: 5 Agustus 2024   16:42 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

POLITIK DINASTI SEPERTI CENDAWAN DI MUSIM HUJAN

Pemilihan kepala daerah (pilkada) akan dilakukan secara serentak pada November 2024. Seperti kita ketahui sejak hampir 15 tahun terakhir, politik dinasti dalam pilkada begitu nyata dan subur. Ada dinasti vertikal (ayah atau ibu ke anak, suami ke istri atau sebaliknya, dari kakak ke adiknya, ponakannya, atau dinasti horizontal terjadi ketika beberapa kepala daerah merupakan kerabat atau saudara ipar. Poliltik seperti milik segelintir keluarga, dan hanya berputar-putar di sekitar mereka. Orang lain (calon dinasti baru) bahkan susah untuk masuk. Contoh-contoh terpapar di hadapan kita. Tanpa menyebutnya pun kita sudah tahu siapa saja yang secara fulgar memainkan politik dinasti ini.

Mengapa Politik Dinasti Begitu Kuat?

Yoes C. Kenawas dalam papernya yang berjudul "The Rise of Political Dynasties in a Democratic Society" (Arryman Fellow Research, May 16, 2015) membuat sebuah abstraksi yang sangat menarik tentang politik dinasti. "The emergence of political dynasties in democratic societies, particularly in consolidating democracies, has raised concerns among democratic activists, policymakers, and academics. By analyzing the emergence of political dynasties at the subnational level, this paper explores the underlying causes of the formation of political dynasties and the political mechanisms that enable dynastic politicians to preserve and to extend their power in consolidating democracies. Additionally, this paper examines dynastic variations within a democracy, i.e., why some families are able to build political dynasty, while others fail. This paper argues that, the determinants of success in building a political dynasty are the strength of the informal family network and the size of accumulated material wealth, which help dynastic politicians to tilt the playing field that can be created by using status of one of the family members as an incumbent."

Saya mencoba menerjemahkannya secara agak bebas sebagai berikut: "Munculnya dinasti politik dalam masyarakat demokratis, khususnya dalam upaya konsolidasi demokrasi, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis demokrasi, pembuat kebijakan, dan akademisi. Dengan menganalisis munculnya dinasti politik di tingkat subnasional, Yoes C. Kenawas (dalam) makalah ini mengeksplorasi penyebab mendasar pembentukan dinasti politik dan mekanisme politik yang memungkinkan politisi dinasti untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan mereka dalam upaya konsolidasi demokrasi. Selain itu, Kenawas (dalam makalah ini) mengkaji variasi dinasti dalam demokrasi, yaitu mengapa beberapa keluarga mampu membangun dinasti politik, sementara yang lain gagal. Ia (dalam makalah ini) berpendapat bahwa, penentu keberhasilan dalam membangun dinasti politik adalah kekuatan jaringan keluarga informal dan besarnya kekayaan materi yang terkumpul, yang membantu politisi dinasti untuk mengubah situasi yang dapat diciptakan dengan menggunakan status salah satu anggota keluarga sebagai petahana."

(edeposit.perpusnas.go.id)
(edeposit.perpusnas.go.id)

Fenomena dinasti politik di Indonesia merupakan salah satu tantangan besar dalam proses konsolidasi demokrasi di negara ini. Meskipun demokrasi di Indonesia telah memberikan ruang lebih besar bagi partisipasi politik, dinasti politik masih menjadi hambatan bagi terciptanya sistem politik yang lebih adil dan egaliter. 

Penjelasan berikut tidak terutama menjelaskan apa yang ditulis oleh Yoes C. Kenawas di atas, melainkan lebih upaya untuk menangkap yang "tersembur" dari suburnya praktik politik dinasti selama ini. 

(msn.com)
(msn.com)

Penyebab Munculnya Dinasti Politik di Indonesia

Dinasti politik di Indonesia muncul karena berbagai faktor yang saling berkaitan, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun politik. Ada beberapa penyebab utama munculnya dinasti politik di Indonesia:

Pertama, Adanya kultur patronase. Hubungan patron-klien sangat kuat di banyak daerah di Indonesia. Pemimpin lokal yang berkuasa sering kali memberikan keuntungan materi atau akses kepada pendukung setia mereka, menciptakan loyalitas yang sulit dipatahkan. Dinasti politik memanfaatkan jaringan ini untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Kedua, Keterbatasan reformasi politik atau reformasi setengah hati. Meskipun Indonesia telah melakukan reformasi demokrasi (yang sudah hampir 30 tahun), banyak struktur dan praktik dari masa lalu yang tetap bertahan. Sistem politik yang tidak sepenuhnya transparan dan akuntabel memungkinkan praktik dinasti politik untuk terus berkembang.

Ketiga, Pengaruh ekonomi atau kekayaan dan sumber daya. Keluarga-keluarga politik yang memiliki akses ke sumber daya ekonomi yang besar dapat menggunakan kekayaan mereka untuk mendukung kampanye politik, mempengaruhi media, dan membeli dukungan. Hal ini memberikan keuntungan kompetitif yang signifikan terhadap pesaing politik lainnya.

Keempat, Penguasaan struktur partai atau kontrol atas partai politik. Banyak keluarga dinasti memiliki pengaruh yang besar dalam partai politik, memungkinkan mereka untuk mengontrol pencalonan kandidat dan memastikan posisi strategis diisi oleh anggota keluarga atau sekutu. Bahkan mereka bisa dengan seenak pindah partai politik tanpa melalui mekanisme kaderirasi yang mumpuni dan transparan.

Kelima, Kelemahan sistem hukum atau penegakan hukum yang lemah. Sistem hukum yang lemah dan rentan terhadap korupsi memudahkan praktik-praktik politik yang tidak etis, termasuk pembentukan dinasti. Hukuman yang tidak tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan membuat dinasti politik sulit untuk diberantas. Bahkan kasus hukum bisa dipakai sebagai alat barter dengan kekuasaan.

Keenam, Kurangnya pendidikan politik atau kesadaran politik rendah. Kurangnya pendidikan politik dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya demokrasi dan keterwakilan yang adil membuat banyak pemilih mudah terpengaruh oleh janji-janji populis dan politik uang yang dilakukan oleh dinasti politik.

Ketujuh, Pengaruh sosial dan budaya atau identitas dan loyalitas lokal. Banyak daerah memiliki ikatan sosial dan budaya yang kuat, di mana tokoh-tokoh tertentu dianggap sebagai representasi komunitas atau suku. Dinasti politik sering kali menggunakan identitas ini untuk memperkuat legitimasi mereka.

Mekanisme Politik yang Mempertahankan Dinasti

Mekanisme politik yang mempertahankan dinasti di berbagai negara, termasuk Indonesia, biasanya melibatkan beberapa strategi dan praktik yang memungkinkan keluarga-keluarga berkuasa untuk terus mendominasi arena politik. Ada beberapa mekanisme yang umum digunakan:

Pertama, Kontrol partai politik. Ada dua kemungkinan terjadinya kontrol terhadap partai politik yakni 1) Pengaruh dalam partai. Banyak dinasti politik memiliki pengaruh yang kuat dalam struktur partai politik, memungkinkan mereka untuk mengendalikan pencalonan kandidat dan menentukan arah kebijakan partai. Dan 2) Penguasaan posisi kunci. Anggota keluarga sering ditempatkan pada posisi strategis dalam partai untuk memastikan kebijakan partai mendukung kepentingan dinasti.

Kedua, Penggunaan patronase dan clientelisme. Dinasti politik sering membangun jaringan patronase di mana dukungan politik ditukar dengan keuntungan materiil atau jabatan. Hal ini menciptakan loyalitas dan ketergantungan di antara pendukung mereka serta dengan mengendalikan distribusi sumber daya publik, dinasti dapat mempengaruhi pemilih dan memperkuat dukungan politik mereka.

Ketiga, Manipulasi proses pemilihan melalui pengontrolan terhadap aparat pemilihan. Dinasti dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mempengaruhi proses pemilihan agar menguntungkan kandidat yang mereka dukung. Selain itu dengan melakukan penataan ulang batas-batas daerah pemilihan (melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten baru) untuk memaksimalkan keuntungan politik keluarga.

Keempat, Mobilisasi sosial dan budaya. Para kandidat atau incumbent biasanya memanfaatkan identitas budaya, etnis, atau agama untuk membangun dukungan dan melegitimasi kekuasaan mereka. Mereka juga melibatkan organisasi sosial dan keagamaan untuk membangun pengaruh dan dukungan di tingkat akar rumput.

Kelima, Kontrol media dan informasi. Mereka memiliki jaringan media yang kuat sehingga muda mengendalikan atau mempengaruhi media untuk mempromosikan citra positif dan menekan kritik terhadap dinasti. Atau sekarang dengan menggunakan atau memanfaatkan platform media sosial untuk membangun narasi yang menguntungkan dan menggalang dukungan publik.

Keenam, Pengembangan aliansi dan koalisi. Aliansi ini biasanya dilakukan dengan membangun aliansi dengan kelompok politik lain untuk memperluas basis dukungan dan mengurangi oposisi, atau dengan melakukan negosiasi dan kompromi dengan elite politik dan ekonomi untuk mendapatkan dukungan dan mempertahankan kekuasaan.

Dengan memanfaatkan mekanisme-mekanisme ini, dinasti politik dapat mempertahankan dan memperluas kekuasaan mereka, meskipun sering kali mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang baik. Reformasi sistem politik dan peningkatan kesadaran publik adalah kunci untuk mengurangi pengaruh dinasti dan mendorong praktik politik yang lebih demokratis dan adil.

(tirto.id)
(tirto.id)

Bagaimana Memutus Mata Rantai Dinasti Politik?

Memutus mata rantai dinasti politik memerlukan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan berbagai aspek, baik dari sisi regulasi, pendidikan, maupun kesadaran masyarakat. Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencapai tujuan ini:

Pertama, Reformasi regulasi dan kebijakan melalui 1) Pembatasan masa jabatan. Memperketat aturan mengenai batasan masa jabatan bagi pejabat publik dapat mencegah konsentrasi kekuasaan pada satu keluarga. Buatlah undang-undang agar yang boleh menjadi bupati, wali kota atau gubernur bukanlah mereka yang ada hubungan keluarga dengan petahana. Tapi melihat fenomena undang-undang yang mudah direvisi demi kepentingan politik dinasti maka akan sulit terwujud. 

2) Transparansi proses pemilihan. Meningkatkan transparansi dalam proses pemilihan, termasuk pembiayaan kampanye, agar proses lebih adil dan mengurangi pengaruh uang dalam politik. Kenyataan berkata sebaliknya. Politik uang atau bantuan sosial seringkali menjadi senjata paling ampuh meraih suara dari para pemilih. Mereka yang memiliki uang tak berseri akan dengan mudah melenggang ke persaingan berikutnya. 

3) Aturan konflik kepentingan. Menerapkan aturan yang ketat mengenai konflik kepentingan untuk mencegah anggota keluarga pejabat menjabat posisi strategis yang dapat memengaruhi keputusan politik. Lagi-lagi ini seperti punguk merindukan bulan. Selama integritas dan moralitas tidak menjadi landasan persaingan, maka sia-sialah upaya apapun.

Kedua, Peningkatan pendidikan dan kesadaran politik melalui dua hal ini: 1) Edukasi politik. Mendorong pendidikan politik sejak dini, baik di sekolah maupun di masyarakat, untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya partisipasi politik yang sehat. 2) Pemberdayaan masyarakat. Mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam proses politik, termasuk melalui organisasi masyarakat sipil, untuk mengawasi dan menuntut akuntabilitas dari pemimpin mereka.

(halokendari.com)
(halokendari.com)

Ketiga, Penguatan lembaga dan sistem demokrasi dengan cara 1) Penguatan lembaga pengawas. Memperkuat lembaga pengawas pemilu dan anti-korupsi agar dapat menjalankan tugasnya secara independen dan efektif. Dan 2) Pembangunan partai politik yang sehat. Mendorong sistem partai politik yang demokratis dan akuntabel, sehingga calon pemimpin dipilih berdasarkan kapasitas dan integritas, bukan karena hubungan keluarga atau karena keuangan yang menggenggam (harga diri).

Keempat, Meningkatkan peran media dan teknologi dengan 1) nenggunakan media sosial untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya memilih pemimpin yang berkualitas dan bebas dari pengaruh dinasti. Dan 2) Mendorong jurnalisme investigatif untuk mengungkap praktek-praktek dinasti politik dan mendorong perubahan melalui tekanan publik.

Dengan menggabungkan pendekatan-pendekatan ini, diharapkan dapat membangun sistem politik yang lebih adil dan merata, serta membuka peluang bagi individu-individu yang kompeten dan berintegritas untuk berkontribusi dalam pemerintahan tanpa harus terhalang oleh praktek dinasti. Selama hal-hal tersebut di atas belum dibenahi secara menyeluruh dan tegas, maka tunggulah saja akan muncul politik dinasti baru seperti cendawan di musim hujan yang kian susah diberantas.

(kumparan.com)
(kumparan.com)

Salam senja, salam waras demokrasi, salam waras konstitusi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun