Kopi Selepas Magrib 2
#putibattgkejujuran
Â
Di warung kecil selepas magrib bersua,
Tersaji hangat kopi dalam cangkir sederhana,
Seorang lelaki tua dengan senyum penuh makna,
Berbagi kisah kebaikan tanpa pamrih, tanpa cela.
Demi kejujuran ia teguh berdiri,
Ketulusan dalam setiap kata yang terucap,
Setiap tegukan kopi jadi saksi,
Perbuatan baik mampu menggapai hati yang retak.
Orang-orang pun datang, terinspirasi tak henti,
Di bawah sinar lampu kuning, mereka belajar mengerti,
Kebaikan tak mengenal waktu dan usia,
Mengajarkan kita untuk selalu jujur dan tulus adanya.
Puisi "Kopi Selepas Magrib" di atas saya tulis tadi selepas magrib saat membaca berita tentang ketidaksikronan pendapat tentang BBM Bersubsidi antara Menko Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Presiden Jokowi, Menko Airlangga Hartanto dan Menteri ESDM Arifin Tasrif. Persoalan yang sama tentang BBM Bersubsidi tapi menghasilkan diskusi dan beda pendapat yang tajam. Mereka berada dalam satu tim, tapi hasil akhirnya bisa berbeda. Saya mencoba menafsirkannya sebagai sebuah ketidakjujuran terhadap publik. Ini baru satu contoh. Mari kita coba tafsirkan dari aspek yang lain, seperti penegakan hukum, keadilan ekonomi, dan pendidikan.
Bidang Penegakan Hukum
Jika kita meneropong penegakan hukum, melalui puisi ini hendak menekankan pentingnya kejujuran dan ketulusan, yang merupakan nilai-nilai fundamental dalam sistem hukum yang adil. Lelaki tua yang berpegang teguh pada kejujuran menunjukkan bahwa integritas adalah kunci dalam menjaga keadilan.Â
Seperti lelaki tua yang menjadi teladan dalam perbuatan baik, para penegak hukum juga harus berpegang pada prinsip kejujuran dan ketulusan untuk memastikan hukum diterapkan dengan adil dan tanpa diskriminasi.Â
Dengan demikian, kejujuran dalam penegakan hukum menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan mendorong perilaku yang sesuai dengan hukum di antara warga negara.
Bidang Keadilan Ekonomi
Jika dilihat dari perspektif keadilan ekonomi, puisi ini menggambarkan kesederhanaan warung kopi sebagai simbol inklusivitas dan aksesibilitas. Warung kecil yang menjadi tempat berkumpulnya berbagai kalangan masyarakat, mencerminkan harapan akan ekonomi yang adil dan merata.Â
Kebaikan dan ketulusan lelaki tua dalam membagikan kisahnya tanpa pamrih menunjukkan bagaimana berbagi ilmu dan pengalaman dapat mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi.Â
Dengan mendorong nilai-nilai kejujuran dan ketulusan dalam transaksi ekonomi, kita dapat menciptakan lingkungan di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil dan berkontribusi pada kesejahteraan bersama.
Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, melalui puisi ini coba untuk menyoroti peran penting teladan dalam menginspirasi generasi muda. Lelaki tua yang berbagi kisah kebaikan di warung kopi menjadi guru yang memberikan pelajaran tentang nilai-nilai moral melalui tindakan nyata. Ini menekankan pentingnya pendidikan karakter yang mengajarkan kejujuran, ketulusan, dan kebaikan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan.Â
Dengan menghadirkan sosok teladan yang nyata, seperti lelaki tua dalam puisi, pendidikan dapat membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga memiliki integritas dan empati. Hal ini akan menghasilkan generasi yang mampu membawa perubahan positif dalam masyarakat.
Puisi "Kopi Selepas Magrib" hendak mengajarkan bahwa melalui tindakan kecil yang didasari oleh kejujuran dan ketulusan, kita dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk penegakan hukum, keadilan ekonomi, dan pendidikan, untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan adil.
Semoga para pejabat dalam kabinet sekarang, menjelang masa akhir pemerintahan Presiden Jokowi lebih mengedepankan keteladanan dalam bersikap, berkata dan bertindak. Tidak saling bertolak belakang seolah tanpa koordinasi. Karena masyarakat sudah hampir jenuh dengan ketidakjelasan.
Berita terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H