Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jalan Tol bagi Nonkader dan Jalan Berlubang bagi Kader

12 Juli 2024   22:46 Diperbarui: 12 Juli 2024   22:46 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: eposdigi.com)

JALAN TOL BAGI NON KADER DAN JALAN BERLUBANG BAGI KADER

Sejak diadakan pemilihan kepala daerah langsung pada Juni 2005, mulai terjadi pergeseran makna kaderisasi di dalam partai-partai politik. Partai politik yang sekolah kaderisasinya mandeg, mulai melirik figure-figur di luar partai yang dianggap popular termasuk para artis untuk menjadi kepala daerah. Hal ini berlangsung hampir pada setiap pilkada bahkan pemilihan umum nasional. Figur-figur muda yang popular meski belum teruji sepak terjangnya dalam dunia politik malah dipilih jadi pemimpin. Begitu juga nanti pada Pilkada 2024. 

Beberapa tokoh dari kalangan non-partai yang juga figur-figur yang memiliki popularitas dan pengaruh signifikan di masyarakat. Mereka biasanya datang dari latar belakang profesional, aktivis, atau selebriti yang memiliki basis dukungan kuat. Contoh-contohnya bisa termasuk pengusaha sukses, mantan pejabat tinggi non-partai, tokoh media, atau pemimpin organisasi masyarakat yang dikenal luas.

Mengapa Non Kader Yang Dipilih?

Beberapa kepala daerah yang diusulkan oleh partai merupakan kader partai yang mumpuni. Tetapi mereka kurang terkenal sehingga populitas apalagi elektabilitasnya tidak terlalu signifikan untuk dimajukan lagi sebagai kepala daerah. Partai tidak mau berspekulasi lalu mengambil jalan pintas. Cari tokoh yang popularitasnya tinggi, sekurang-kurangnya di media (sosial).

Mereka dipilih karena dianggap bahwa kemampuan mereka bisa mendongkrak suara partai. 

Mereka dianggap memiliki potensi untuk mendongkrak suara partai karena 1) mempunyai popularitas dan karisma. Mereka sering kali memiliki daya tarik yang luas dan mampu menarik perhatian pemilih yang tidak terafiliasi dengan partai politik tertentu. 

2) memiliki citra bersih dan profesional. Banyak dari mereka dianggap lebih bersih dan profesional dibandingkan politisi partai, sehingga dapat menarik pemilih yang skeptis terhadap partai politik tradisional. 

3) memiliki jaringan sosial dan media. Mereka biasanya memiliki jaringan sosial yang luas dan kehadiran media yang kuat, yang dapat dimanfaatkan untuk kampanye efektif.

(sumber: soloraya.solopos.com)
(sumber: soloraya.solopos.com)

Mengapa Yang Kader Tersisih?

Meskipun kader partai memiliki keunggulan dalam hal loyalitas dan pemahaman tentang struktur partai, namun mereka mungkin dianggap kurang efektif dalam mendongkrak suara partai. Ada tiga hal yang bisa menjadi penyebab sehingga bukan kader partai yang dipilih. 

1) Citra Partai yang Kurang Positif. Banyak kader partai yang mungkin terpengaruh oleh citra negatif partai mereka di mata publik, terutama jika partai tersebut terlibat dalam berbagai skandal moral atau korupsi atau masalah internal. 

2) Kurangnya Daya Tarik Individu. Tidak semua kader memiliki daya tarik atau karisma yang cukup untuk menarik pemilih independen atau apatis. 3) Adanya Kompetisi Internal. Kader partai sering kali harus bersaing dengan sesama kader untuk mendapatkan dukungan internal, yang bisa memecah belah basis dukungan mereka.

Daripada perjuangan partai tidak maksimal dan tiga penyebab internal di atas, maka partai akan mengambil "jalan tol" dengan memilih orang non partai sebagai calon yang diikutkan dalam pilkada.

Fenomena ini cenderung sebagai jalan pintas yang pragmatis bagi tokoh-tokoh non-partai untuk maju dalam Pilkada tanpa harus melalui proses pendaftaran independen yang biasanya lebih rumit dan memakan waktu. 

Beberapa pandangan menyoroti bahwa langkah ini bisa menguntungkan baik bagi tokoh tersebut maupun partai yang mendukung mereka, karena bisa membawa keuntungan strategis antara lain, pertama adanya Koalisi Simbolik. 

Mengusung tokoh non-partai bisa menjadi simbol keterbukaan dan fleksibilitas partai, yang dapat menarik simpati pemilih. Kedua, adanya diversifikasi dukungan: Hal ini memungkinkan partai untuk menjangkau basis pemilih yang lebih luas dan beragam khususnya pemilih pemula yang mengidolakan sang calon.

Model "jalan tol" ini nampak baik namun secara organisatoris tidaklah bagus. Pendidikan dan kaderisasi internal partai tidak jalan. Selain itu langkah ini bisa mengaburkan garis antara partai politik dan independensi, serta mengurangi kesempatan bagi kader-kader partai yang telah berjuang lama untuk mendapat pengakuan. 

Jika tidak dikelola dengan baik, kolaborasi ini bisa menimbulkan konflik internal dalam partai, terutama jika tokoh non-partai tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan visi dan misi partai.

Dari beberapa pilkada yang berlangsung, kita dapat menyimpulkan bahwa fenomena ini mencerminkan dinamika politik yang semakin kompleks di Indonesia, di mana strategi dan pendekatan yang fleksibel diperlukan untuk memenangkan hati pemilih yang semakin kritis dan beragam.

Yang pasti pilihan partai untuk menetapkan calon non kader semakin menegaskan adanya jalan berlubang bagi kader dan jalan tol bagi non kader yang penting populer dan kemungkinan terpilihnya lebih besar. Tentu seperti jalan tol yang kian mahal, kader non partai tentu menyiapkan mahar yang besar pula. Yang penting wani piro! Ini sudah rahasia umum!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun