Editor yang baik itu tidak tanggung-tanggung untuk berkata TIDAK pada sebuah tulisan yang memang jelek dan menunjukkan kejelekan/kekurangan itu pada penulisnya. Ia juga akan dengan senang hati memberikan apresiasi atas sebuah naskah yang memang baik, penuh kejutan dan tentu saja berdaya ubah bagi pembaca.
Menuliskan Yang Monumental
Setelah lama menggeluti naskah dan tulisan orang lain, saya tertarik untuk menulis buku sendiri. Ada kegemasan tersendiri bila tidak menulis buku. Mengapa hanya melayani orang lain? Cobalah layani diri sendiri. Dari situ saya mulai berani menerbitkan tulisan sendiri.
Meski sebagai editor yang punya kuasa menerbitkan naskah orang lain, saya tetap meminta pandangan dan pertimbangan editor lain.
Buku pertama yang saya tulis lebih sebagai sebuah solusi atas pengalaman dan pergulatan iman pribadi. Ya pergulatan untuk tetap setia pada Yesus dan Gereja-Nya atau pilihan tetap setia pada Yesus tetapi tidak pada Gereja-Nya.
Pergulatan itu melahirkan buku berjudul Berbahagialah Yang Tidak Melihat Namun Percaya (2005). Awalnya terasa amat sulit untuk membagikan pergulatan ini kepada orang lain. Jadi untuk tidak terlalu "mendaku" buku ini lebih bernada refleksi-teologis-biblis. Sehingga agak berat dan sedikit susah dipahami oleh orang awam, dan hasilnya tidak laris di pasaran buku rohani. Sampai sekarang tidak cetak ulang. Cetak hanya sekali sebanyak 3000 eks. Dan sudah tidak tahu perkembangannya hingga kini.
Lalu disusul dengan buku DOA HARIAN BUNDA TERESA pada tahun yang sama (2005) dan hingga kini sudah cetak ulang 5 kali (termasuk best seller, sudah tembus 8000 eks lebih). Sedianya buku ini saya minta seorang teman untuk menulisnya. Tetapi karena tidak ada reaksi, maka saya menulis sendiri. Buku ini termasuk buku yang mudah bagi saya karena saya memoles kembali doa-doa dan renungan yang pernah saya berikan dalam pendampingan kepada Kerabat Kerja Ibu Teresa (KKIT) Yogyakarta. Lagi-lagi sampai sekarang saya tidak tahu perkembangan buku itu. Royalti tidak jelas dan kedudukan buku saat ini juga tidak jelas. Meski buku ini termasuk laris, saya tidak masukan dalam kategori monumental. Karena di mana-mana pangsa buku doa memang selalu menarik.
Buku monumental kedua dan termasuk best seller adalah PAUS FRANSISKUS Pregate Per Me (2013). Buku ini mulai ditulis ketika nama Kardinal Jorge Bergoglio diumumkan sebagai Paus Fransiskus menggantikan Paus Emeritus Benediktus XVI (Kardinal Josef Ratzinger).
Ketika Paus Fransiskus dikukuhkan dan dalam khotbahnya dia meminta umat mendoakan dia (pregate per me: doakanlah saya), saya mencupliknya sebagai sub judul buku. Buku ini saya terbitkan secara indie dengan penerbitku sendiri. Ketika penerbit besar lainnya baru mau menulis, buku ini sudah empat kali cetak ulang @ 2000 eksemplar. Sebagai syukur atas buku saya yang luar biasa ini, anak kedua kami beri nama Fransisco. Buku ini banyak memberi berkat untuk saya dan keluarga.
Untuk bisa menuliskan sesuatu yang fenomental sekaligus monumental entah itu puisi, cerpen, esai atau buku dibutuhkan kepekaan dan ketajaman intuisi untuk membaca situasi. Kejelian inilah yang akan membuat sebuah tulisan atau buku menjadi best-seller.
Di antara kedua buku ini dan setelahnya, saya telah menulis belasan judul lainnya baik secara pribadi maupun bersama, belum termasuk sebagai kontributor lebih dari 14 judul buku. Dua buku saya yang bergenre amat beda dengan buku-buku sebelumya adalah Pentigraf tentang Bung Karno. Ini mungkin termasuk buku fiksi sejarah pertama berupa tulisan-tulisan pendek sepanjang tiga paragraf.
Dari aneka pengalaman menulis saya hendak menggarisbawahi bahwa tidak selamanya proses penulisan itu berjalan lancar. Saya mesti mengakui bahwa lebih banyak naskah buku yang tidak dan belum jadi daripada yang sudah diterbitkan. Kendala utamanya adalah karena saya tidak konsisten dan tidak setia dengan tema dasar buku yang hendak saya tulis.