Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terlambat Sedikit, Nyawa pun Melayang

3 Juli 2024   21:49 Diperbarui: 3 Juli 2024   22:04 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: sport.tempo.co)

Terlambat Sedikit, Nyawa pun Melayang

Catatan Tentang Tragedi Atlet Yang Meninggal Saat Sedang Laga

Antara regulasi/aturan dan tindakan darurat kemanusiaan untuk menyelamatkan seseorang, manakah yang harus didahulukan? Itulah pertanyaan reflektif usai kejadian tragis di dunia bulu tangkis yang secara kebetulan terjadi di Yogyakarta Indonesia (Minggu, 30 Juni 2014). Zhang Zie Jie atlet bulu tangkis asal China dinyatakan meninggal usai terjatuh ketika pertandingan sedang berlangsung. Di lihat dari video yang beredar tampak bahwa tindakan medis yang diberikan tidaklah responsif. Begitu pula dengan wasit nampak hanya memandang dari singgsananya padahal sudah jelas terlihat pemain sempat mengangkat tangan lalu terdiam. Lalu pelatihnya juga sempat panik, tapi karena terikat regulasi yang kaku, mereka hanya bisa menonton. Nasi sudah jadi bubur.

Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, dr. Radityo Prakoso, SpJP(K) seharusnya Zhang segera mendapatkan bantuan hidup dasar sejak dia jatuh, baik dengan resusitasi jantung paru (CPR - cardiopulmonary resuscitation) maupun dengan alat Defibrilator Eksternal Otomatis (AED) (bdk https://www.bbc.com/indonesia/articles/cp083y7vd5vo). 

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Tindakan begitu lambat sehingga harus pula dibawa dengan ambulance ke Rumah Sakit. Butuh berapa menit sampai di sana? Seandainya ada tindakan darurat mungkin ceritanya menjadi lain. (maaf ini bukan bermaksud menyudutkan siapapun), ini hanyalah sebuah refleksi pasca kejadian.

Atas kejadian tersebut, saya mencoba menggambarkan kekakuan petugas yang "tersandera" regulasi perbulutangkisan dunia sehingga ada nyawa yang harus "melayang" dalam puisi tiga bait berikut:

Tangis Senyap di Lapangan 

Di lapangan hijau, sorak sorai terhenti,
Seorang atlet jatuh, tubuhnya tak berdaya,
Dalam momen singkat, harapan pun lenyap,
Kemanusiaan terluka, tangis tak bersuara.

Dalam hitungan detik, nyawa terlepas,
Penanganan terlambat, janji tak terpenuhi,
Di balik aturan, detak jantung melambat,
Nyawa yang berharga tak sempat diselamatkan.

Bulu tangkis menangis, angin membawa pesan,
Hidup dan waktu tak bisa ditawar,
Regulasi harus peka, wasit lebih waspada,
Agar tragedi ini tak pernah terulang kembali.

(sumber: sport.tempo.co)
(sumber: sport.tempo.co)

Tragedi meninggalnya seorang atlet bulutangkis asal China setelah terjatuh saat pertandingan berlangsung menyoroti aspek kemanusiaan yang seharusnya menjadi prioritas di atas segala aturan dan regulasi dalam olahraga. 

Kejadian ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap kompetisi, terdapat nyawa dan kesehatan individu yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh. Ketika penanganan medis terlambat, nyawa seorang atlet tidak dapat diselamatkan, dan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang sensitivitas dan kesiapan sistem yang ada, terutama panpel-nya.

Wasit, sebagai pemimpin di lapangan, harus memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kondisi fisik dan kesehatan para pemain. Mereka tidak hanya bertugas mengawasi pelanggaran aturan, tetapi juga menjaga keselamatan pemain. 

Dalam kasus ini, wasit perlu segera menghentikan pertandingan begitu melihat adanya insiden yang mengancam kesehatan pemain, tanpa harus menunggu tanda-tanda yang lebih jelas, apalagi harus membuka catatan-catatan tentang regulasi. Kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan bisa menjadi penentu antara hidup dan mati.

Regulasi dalam olahraga harus dievaluasi dan direvisi untuk menekankan pentingnya keselamatan pemain. Setiap turnamen dan pertandingan harus dilengkapi dengan protokol medis yang ketat dan segera diaktifkan dalam situasi darurat. Penempatan tim medis di lokasi yang mudah dijangkau, serta peralatan medis yang memadai, harus menjadi standar yang tidak bisa ditawar lagi. Kita bisa belajar dari beberapa kasus yang menimpa pemain sepakbola di Eropa. Para pemain yang terkena serangan jantung di lapangan tertolong karena penanganan yang cepat. Wasit dengan sigap memerintahkan tim medis. Sebalumnya sesama pemain memberikan pertolongan pertama yang mendasar seperti memasukan jari ke mulut sang pemain agar ia tidak menggigit lidahnya sendiri. Pelatihan rutin bagi tim medis dan wasit dalam menangani keadaan darurat juga sangat diperlukan.

Dalam menghadapi kejadian serupa di masa depan (termasuk dalam bidang olah raga apapun), langkah-langkah konkret harus diambil untuk memastikan penanganan yang lebih cepat dan efisien. 

Pertama, setiap turnamen bulutangkis harus memiliki tim medis yang siap siaga dengan perlengkapan lengkap, termasuk defibrillator dan peralatan pertolongan pertama lainnya. 

Kedua, komunikasi antara wasit, petugas lapangan, dan tim medis harus lancar dan efektif, memungkinkan respon cepat terhadap setiap insiden tanpa harus kaku dengan regulasi. Karena bagaimana pun regulasi dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk regulasi.

Ketiga, edukasi kepada para pemain tentang pentingnya melaporkan kondisi fisik mereka dan tidak memaksakan diri saat merasa tidak sehat amatlah penting. Para pemain harus diberikan pemahaman bahwa kesehatan mereka lebih penting daripada hasil pertandingan. Organisasi olahraga perlu memastikan bahwa budaya ini tertanam kuat di kalangan atlet dan pelatih.

(sumber: tbmischiadicus.id)
(sumber: tbmischiadicus.id)

Lalu, evaluasi pasca-pertandingan terhadap insiden medis harus dilakukan secara menyeluruh. Analisis mendalam terhadap setiap kejadian darurat akan membantu menemukan kelemahan dalam sistem yang ada dan memberikan rekomendasi perbaikan. 

Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya meningkatkan standar keselamatan, tetapi juga menghormati dan melindungi nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi inti dari setiap kegiatan olahraga.


Kaki Merapi, 03 Juli 2024

Alfred B. Jogo Ena


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun