Kopi dan Ambulance
#PutibatentangPrioritasdiJalan
Di pagi penuh hiruk pikuk kota,
Suara sirene meraung, minta jalan,
Pejabat dengan kopinya, senyum penuh ego,
Melenggang, konvoi tak terganggu, nyawa diabaikan.
Anak buah menunduk, nurani terkikis,
Demi pujian sang tuan, hati pun mati,
Ambulance terhenti, derita berlanjut,
Keadilan terbungkam di negeri yang mengaku suci.
Sungguh memalukan, wajah agamis ternoda,
Saat jabatan lebih tinggi dari nyawa,
Negeri ini butuh cermin, untuk melihat luka,
Agar keadilan dan kemanusiaan kembali terjaga.
Mengutamakan Kemanusiaan
Pasien dalam ambulance seharusnya mendapatkan prioritas di jalanan karena mereka membutuhkan perawatan medis segera yang bisa menyelamatkan nyawa. Puisi di atas menggambarkan kenyataan pahit di mana prioritas di jalanan sering kali salah ditempatkan. Ketika seorang pejabat dengan konvoinya merasa lebih penting daripada nyawa yang terancam di dalam ambulance, itu menunjukkan betapa ego dan kekuasaan bisa membutakan hati manusia. Ini bukan hanya masalah moral, tetapi juga masalah kemanusiaan dan tanggung jawab sosial.
Puisi di atas dengan tajam hendak mengkritik fenomena yang memalukan ketika pejabat negara (siapapun dan setinggi apapun jabatannya) diberikan prioritas lebih tinggi di jalan raya dari pada ambulans yang membawa pasien dalam kondisi kritis.Â
Kejadian ini tidak hanya mencerminkan ketidakpedulian terhadap nyawa manusia, tetapi juga menunjukkan betapa kedudukan dan kekuasaan sering kali dianggap lebih penting daripada keselamatan warga negara.Â
Pejabat dengan kopinya yang melenggang tanpa terganggu menggambarkan betapa mereka merasa superior dan tak tersentuh, sementara suara sirene yang meraung hanya menjadi latar belakang yang diabaikan.
Anak buah yang menunduk demi menyenangkan tuannya menunjukkan hilangnya nurani dan tanggung jawab moral. Mereka lebih memilih untuk mengikuti perintah tanpa mempertimbangkan konsekuensi nyawa yang dipertaruhkan.Â
Ini menimbulkan pertanyaan tentang nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh aparat negara dan betapa pentingnya memiliki pemimpin yang peka dan bertanggung jawab. Puisi ini dengan gamblang menunjukkan bahwa ketaatan buta terhadap kekuasaan dapat menyebabkan hilangnya empati dan rasa kemanusiaan.