Kasus istri (polwan) membakar suami (polisi) yang dipicu oleh perilaku sang suami yang keasyikan main judi online sehingga "mengganggu" uang gaji yang seharusnya bisa dipakai untuk membeli susu bagi ketiga anaknya atau kebutuhan rumah tangga lainnya.Â
Hobi suami main judi berlawanan dengan kebutuhan rumah tangga yang mendesak. Akibat akumulasi kesenangan suami versus kebutuhan rumah tangga, membuat sang istri kalap dan tega membakar suaminya yang seharusnya bertugas memberantas judi online.Â
Kasus ini hanyalah salah satu dari ribuan kasus judi online yang saban harinya terus memakan korban. Ya, mereka orang-orang yang kepingin kaya secepat-cepatnya dengan berjudi. Mereka lupa filosofi judi adalah "untung-untungan versus buntung-buntungan". Yang mujur akan untung, tapi itupun tak akan langgeng, karena si pelaku akan tergiur untuk mendapatkan yang semakin banyak.Â
Berlawanan dengan yang untung adalah buntung, uang ludes, stress menghampiri, kekerasan rumah tangga semakin ramai terjadi. Hampir setiap hari kita menemukan kasus-kasus judi online, yang oleh Menko PMK, para pelaku judi online disebut sebagai korban yang pantas mendapat bansos. Sebuah usulan yang menyalahi akal sehat kita. Mereka yang memiskinkan diri dengan judi online, negara kok mau-maunya hadir untuk memberi bantuan. Aneh bin ajaib. Cuma terjadi di Indonesia.
Efektifkah Pemblokiran Media Sosial?
Maraknya judi online memang menjadi masalah serius di Indonesia, terutama dengan perputaran uang yang mencapai lebih dari Rp 300 triliun sepanjang tahun 2023. Pemblokiran media sosial seperti X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) sering kali diusulkan sebagai solusi untuk mengurangi aktivitas ilegal ini.Â
Namun, efektivitas langkah tersebut perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek. Yang bermasalah itu media sosialnya atau para pengguna media sosial yang tidak bisa memfilter dirinya? Sebuah pertanyaan yang tak mudah ditemukan jawabnya, seperti pertanyaan, "Mana duluan ada ayam atau telur?"
Pemblokiran media sosial dapat memberikan dampak sementara dalam mengurangi akses ke situs-situs judi online, namun tidak sepenuhnya efektif untuk memberantas masalah ini secara keseluruhan.Â
Ada tiga alasan pemblokiran menjadi tidak efektif. Pertama, Adanya Alternatif Platform. Para pengguna medsos yang keranjingan judi online dapat dengan mudah beralih ke platform lain yang tidak diblokir atau menggunakan VPN untuk mengakses situs yang diblokir. Bukankah masyarakat kita terkenal sebagai "hacker" andal yang akan berusaha mencari berbagai cara agar bisa mengakses sesuatu yang diblokir.Â
Kedua, Adaptasi Teknologi. Para pelaku judi online seringkali lebih cepat beradaptasi dengan teknologi dibandingkan regulator. Mereka dapat mengubah domain atau metode operasional mereka untuk menghindari pemblokiran. Belum lagi pelakunya adalah mereka yang seharusnya bertindak sebagai regulator (seperti kasus polisi di awal tulisan ini). Ketika sebuah regulasi diberlakukan, para pelaku judi online biasanya selangkah lebih maju. Bukankah sudah sekian lama situs-situs judi online diblokir tetapi tetap saja terjadi bahkan semakin massif?
Ketiga, Efek Samping. Pemblokiran media sosial dapat mengganggu komunikasi dan aktivitas online yang sah, yang juga menggunakan platform yang sama. Efek samping ini biasanya berantai alias tali temali, ruwet dan tak terselesaikan.
Peran Satgas Pemberantas Judi Online
Hampir segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara kita ada satgasnya. Apakah semua efektif? Apakah semuanya mampu memberi efek jera? Kita seperti berlomba gali lobang untuk lobang dengan membuat aneka aturan dan turunannya. Bagaimana bisa efektif kalau mereka yang seharusnya menjadi pemberi teladan malah menjadi pelaku dan pelanggaran aturan itu sendiri? Atau malahan aturan bisa diubah sewaktu-waktu bila dirasa tidak mendukung kiprah mereka.
Pembentukan Satgas Judi Online itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring yang terbit di Jakarta, Jumat (14/6/2024). ( https://www.kompas.com/tren/read/2024/06/16/163000565/profil-satgas-judi-online-jokowi--anggota-tugas-dan-masa-kerjanya.) Keputusan ini terkesan reaksioner terhadap sebuah kasus. Padahal aparat kepolisian sudah sering dilapori masyarakat adanya judi online.
Satgas Pemberantas Judi Online tentu memiliki potensi untuk menjadi solusi yang lebih efektif karena pendekatannya yang lebih langsung dan terfokus.