Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kopi Tinggal Ampas

12 Juni 2024   22:38 Diperbarui: 13 Juni 2024   08:08 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: pustaka.or.id)

Sebelum malam memejamkan mata, tersembul refleksi tentang kue-kue tambang yang diberi pemerintah kepada ormas keagamaan. Setelah nyanyian penolakan perusakan alam merdu diperdengarkan tokoh-tokoh agama, tiba-tiba sebuah undangan makan siang berupa peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021. Tentu banyak kegundahan di sana sini bukan tentang siapa yang mengelola apa dan bagaimana itu dikelola. Tetapi terutama apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu ketika hutan kian punah, bumi kian terluka dengan lubang menganga di mana-mana. Berikut tiga puisi yang mewarnai gundah gulana itu.

1)

Ketika hutan dirobohkan demi keuntungan singkat, kita mengubur masa depan dalam kekeringan dan penderitaan. Tanah yang subur menjadi tandus, menghilangkan warisan alam untuk anak cucu kita. Kegilaan karema keserakahan harus dihentikan sekarang, sebelum negeri yang kaya ini hanya menjadi kenangan yang menyedihkan.


2) 

Di hutan rimbun, suara burung merdu bergema,
Namun tebangan kejam memotong lantunan alam.
Perkebunan sawit menari di atas reruntuhan,
Negeri yang subur, kini menanggung derita.

Rimba yang subur, kini terhempas oleh kepentingan,
Tak lama lagi, negeri yang penuh kekayaan,
Akan berubah tandus, terpanggang oleh keserakahan.
Anak cucu menanti, warisan penuh nestapa.

Air mata bumi tak lagi tersisa, kering kerontang,
Pohon-pohon tua berserakan, mengiba pada langit.
Ripah loh jinawi, kini berubah jadi rimbun keluh kesah,
Sawit yang tumbuh, merangkum derita tanah nan subur.

Tinggalkanlah pesan, seruan pada nurani,
Jangan biarkan, kekayaan alam menjadi pusara.
Kembali menjaga, hutan sebagai penjaga kehidupan,
Agar negeri ini tak terpanggil oleh kesedihan.

3)

Di ladang hijau, aroma lembut melambai,
dalam embun pagi yang menggoda.
Tangan rakus telah mengurai asa,
Kini tinggal ampas, dalam gelas yang kosong.

Runtuhan daun-daun, meratapi cerita masa,
Hijaunya pergi, tenggelam dalam rindu.
Namun rakus menyisakan, hanya sejumput debu,
Kopi terkikis, dalam kemarau keinginan.

Malam memanggil, meratapi kepergian,
Rintihan angin, memanggil pada kesunyian.
Namun kekayaan alam, hanya sekadar angan,
Dalam gelas kosong, kini kopi tinggal ampas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun