Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu Kartini dan Gen-Z

8 Mei 2024   18:35 Diperbarui: 8 Mei 2024   21:46 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

IBU KARTINI DAN GEN-Z

(Sebuah Refleksi di Hari Ibu Se-dunia)

 Oleh: Alfred B. Jogo Ena

"Tahukah engkau semboyanku? 'Aku mau!' Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata 'Aku tiada dapat!' melenyapkan rasa berani. Kalimat 'Aku mau!' membuat kita mudah mendaki puncak gunung."

Kutipan di atas merupakan semboyan yang inspiratif dari RA Kartini, pejuang kebebasan perempuan Indonesia yang hari rayanya kita kenang setiap 21 April. Ibu Kartini menekankan betapa pentingnya memilih kata-kata positif dan konstruktif. Pilihan kata bisa menentukan arah dan tujuan pencapaian kita. "Aku tidak dapat, melenyapkan rasa berani. Aku mau, membuat kita mudah  mendaki gunung."

Kedua kata ini - aku tidak dapat dan aku mau - seakan mewakili kita yang sering bersikap ambigu dengan diri sendiri. Di satu sisi kita suka katakana tidak dapat, tetapi di lain sisi kita menyatakan aku mau. Dua sikap ini kadang menghambat kita untuk maju. Semboyan aku mau yang diwariskan Kartini sejatinya mengajak kita untuk selalu teguh dengan sikap diri untuk membiasakan dan menghidupi kata aku mau dalam hidup kita.

Meski peringatan Hari Kartini sudah lewat 21 April yang lalu, alangkah masih relevan jika kita masih membacanya hari ini di Hari Ibu Sedunia. Semoga inspirasi dari RA Kartini menggugah kita zaman ini, para ibu dan terutama gen-Z untuk terus membumikan semangat dan perjuangannya dalam aneka situasi kekinian.

Fasih Bahasa Belanda

R.A. Kartini yang lahir di Jepara 21 April 1879 dan meninggal dalam usia sangat muda pada 27 September 1904, adalah seorang putri pejuang emansipasi yang hebat. Meski dibesarkan dari keluarga ningrat Jawa ia berjuang agar perempuan bisa menentukan hidupnya, termasuk pendidikannya. Perempuan bukan sekedar "konco wingking", perempuan dianggap sebagai orang yang lemah sehingga harus selalu berlindung di balik atau di belakang suaminya.

Kartini, sebagai wanita cerdas dari keluarga terpandang. Ayahnya bernama Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat, adalah Bupati Jepara masa Hindia Belanda. Karena kedudukan ayahnya, ia bisa menikmati pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar berbahasa pengantar Bahasa Belanda. Suatu kesempatan yang sangat langka dimiliki dan dilewati oleh para perempuan seumuran dia di masa itu. Namun ketika ia sudah berusia dua belas tahun, dia tidak diperkenankan untuk sekolah lagi. Karena menurut tradisi pada masa itu, anak gadis yang sudah berusia 12 tahun sudah bisa dipingit atau dijodohkan. Kartini pun mengalami nasib yang sama.

Sebagai gadis yang fasih berbahasa Belanda, Kartini rajin bersurat-suratan dengan teman-temannya di Belanda. Dan kumpulan surat-suratnya itu lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang atau yang dalam Bahasa Belanda disebut Door Duisternis tot Licht. Buku ini amat fenomenal karena dari situ kita bisa mengetahui buah-buah pikiran Kartini tentang perjuangannya untuk memajukan perempuan sebangsanya. Perjuangan Kartini begitu menginspirasi banyak perempuan Indonesia, sehingga untuk meneruskan semangat juangnya didirikan banyak sekolah Kartini di beberapa tempat seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun bahkan Cirebon.

(sumber: ternate.tribunnews.com)
(sumber: ternate.tribunnews.com)

Garis dan Jalan Hidup 

Setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri. Dan di setiap perjalanan itu ia memiliki kisah dan pengalaman yang ditorehkan sebagai sebuah sejarah. Sejarah yang ditorehkan secara personal itu bisa dibagikan kepada orang lain berupa sebuah tulisan dalam rupa artikel atau buku. Kalaupun tidak dibagikan akan menjadi kisah kenangan pribadi yang dibawanya hingga akhir hidupnya di dunia. Kedua pilihan tetap sama-sama indah. Yang pertama keindahan dinikmati (dibaca) oleh orang lain. Yang kedua keindahan hanya dinikmati diri sendiri, bahkan tidak juga untuk orang-orang terdekat dan terkasihnya.

Pilihan berbagi atau tidak hanyalah sebuah opsi dari seluruh perjalanan hidup seseorang. Pramoedya Ananta Toer pernah menulis, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. ... " Menuliskan kisah hidup, sekalipun kelam dan sakit agar bisa dibaca oleh orang lain merupakan bagian dari panggilan sejarah. Ya sejarah untuk mewariskan butir-butir kebajikan dan pesan-pesan kehidupan yang bisa berguna bagi orang lain, sekalipun menyakitkan hati.

Pilihan untuk berbagi membutuhkan keberanian yang luar biasa dari dalam diri sendiri. Ya keberanian untuk melawan ego dan rasa malu untuk berbagi tentang segala kelemahan diri. Lagi-lagi Pramoedya pernah menulis demikian, "Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?" 

Keberanian, suatu sikap dan semangat yang tidak dimiliki oleh banyak orang untuk dengan jujur menorehkan sejarahnya (termasuk yang kelam) kepada orang lain. Tanpa keberanian, seperti kata Pramoedya "lantas apa harga hidup kita ini?" Sebuah tanya yang hanya bisa dijawab dengan sebuah disposisi batin ya mantap, "ya saya berani untuk menorehkan sejarah hidupku."

Keberanian inilah yang mendorong Kartini untuk mendobrak kungkungan feodalisme masa itu. Keberanian inilah yang semestinya memotivasi kita yang hidup 145 tahun setelah kelahirannya atau 120 tahun setelah kematiannya. Dewasa ini kita sering mendengar istilah emansipasi Kartini. Lalu emansipasi macam apa yang cocok di era milenial ini, era yang bisa dikatakan "Habis Terang Terbitlah Kemilau". 

Ya, kita sudah hidup di zaman terang ketika hampir semua anak sudah boleh menikmati pendidikan sejak usia dini. Zaman ketika segala kemajuan dan kemudahan menyertai kita. Zaman ketika segala sesuatu ada dalam genggaman kita (lewat HP dan Android). Apa yang pantas kita wariskan kepada anak cucu kita 120 atau 145 tahun ke depan?

Gen Z dan Kartini

Kiranya hari peringatan kelahiran Ibu Kartini mendorong kita terutama Gen- Z untuk berimbang dalam bersikap sebagaimana yang ditulis oleh Pramoedya. "Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit."

Begitu juga dengan semboyan Kartini di awal tulisan ini; "AKU MAU." Dengan semangat dan kemauan yang besar dari Kartini untuk berkolaborasi dengan para sahabat di Belanda melalui surat-suratnya untuk memajukan perempuan Indonesia, Gen- Z semestinya terdorong untuk berkolaborasi di zaman terang benderang ini untuk semakin memajukan dan mencerdaskan kehidupan sesama.

Kini, Gen-Z memiliki banyak potensi untuk melanjutkan perjuangan Kartini, terutama dalam hal kesetaraan gender, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan. Ada beberapa hal yang menurut penulis bisa dikembangkan, antara lain.

Pertama, advokasi kesetaraan gender online. Kita harus mengakui bahwa Gen-Z sangat fasih dengan teknologi dan media sosial. Mereka bisa menggunakan platform ini untuk mempromosikan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, serta menentang diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Mereka bisa menjadi garda terdepan advokasi kesetaraan gender. Tentu saja mereka perlu dipersiapkan dengan aneka pelatihan yang memadai.

Kedua, pendidikan peer-to-peer (pendidikan teman sebaya). Pendekatan pendidikan antara orang-orang yang memiliki karakteristik atau status yang sama, seperti usia, latar belakang, atau pengalaman. Gen- Z bisa memanfaatkan jaringan dan komunitas mereka untuk menyebarkan pengetahuan dan informasi tentang pentingnya pendidikan untuk semua, terutama untuk perempuan dan anak-anak dari kelompok marginal.

Ketiga, terlibat dalam organisasi perempuan. Banyak organisasi lokal, nasional, dan internasional yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Gen-Z bisa terlibat di dalamnya, baik sebagai relawan, anggota, atau bahkan pendiri organisasi baru.

Keempat, mengembangkan keterampilan dan karir. Gen-Z bisa menunjukkan bahwa perempuan bisa sukses dalam bidang apa pun yang mereka pilih, baik itu sains, teknologi, seni, politik, atau lainnya. Mereka bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi perempuan lainnya.

Kelima, mempromosikan budaya yang menghargai perempuan. Kartini adalah sosok yang sangat menghargai dan mencintai budaya lokal, khususnya budaya Jawa. Dalam berbagai suratnya, Kartini sering menulis tentang kekaguman dan kecintaannya terhadap adat dan budaya Jawa. Gen- Z bisa mendorong perubahan dalam budaya dan norma sosial yang meremehkan atau mendiskriminasi perempuan. Misalnya, melawan stereotip gender, mendorong keterwakilan perempuan dalam media, dan mempromosikan citra positif perempuan.

Dengan cara-cara ini, Gen- Z tidak hanya bisa melanjutkan perjuangan RA Kartini, tetapi juga membawa perubahan positif bagi masyarakat secara lebih luas. Paling kurang, kita mengharapkan hadirnya gen-Z yang mampu memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan (termasuk KDRT terhadap perempuan dan anak-anak). Kita berharap, partai-partai politik juga semakin memberikan ruang bagi tampilnya perempuan dalam kancah perpolitikan nasional, bukan semata-mata sebagai gate voter atau pendulang suara bagi kaum Adam.

Selamat memperingati 145 tahun kelahiran Kartini. Semoga bangsa ini semakin banyak melahirkan Kartini masa kini yang mampu ikut menerangi kegelapan-kegelapan yang masih ada di sekitar kita. Biarlah kita terus mewarisi semangat Kartini sebagai ibu hebat yang tak lekang oleh waktu, yang tak hilang oleh kemajuan peradaban, tetapi makin terus dikenang hingga abadi.

(sumber: vecteezy.com)
(sumber: vecteezy.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun