Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Hal Sepele Pun Berujung Maut

7 Mei 2024   08:19 Diperbarui: 7 Mei 2024   08:40 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HAL SEPELE PUN BERUJUNG MAUT

Oleh: Alfred B. Jogo Ena

(Untuk pertama kalinya setelah 70 hari tidak mengajar, hari ini saya akan masuk ngajar pendidikan agama Katolik dan Budi Pekerti. Dan Sehubungan dengan Budi Pekerti inilah, saya menuliskan artikel ini sebagai pemanasan sebelum masuk kelas)

Selama bulan April dan Mei, telah terjadi beberapa kasus pembunuhan sadis. Salah satunya yang sedang ramai diperbicangkan adalah mayat yang kemudian diketahui identiasnya yang ditemukan dalam koper. Kasus Arif yang tega menghabisi RM di sebuah hotel dan memasukan jazad korban ke dakam koper. Arif bekerja sama dengan sang adik (24 April 2024, detik.com/jabar/berita). Sungguh tak habis pikir, mengapa orang mudah sekali mencari solusi dengan menyelesaikan hidup seseorang secara brutal.

Maraknya perilaku kekerasan seperti pembunuhan menjadi topik yang kompleks dan seringkali melibatkan berbagai faktor, baik secara psikologis, sosial, dan hukum. Secara psikologis, orang yang melakukan tindak kekerasan serius seperti pembunuhan seringkali memiliki gangguan mental atau emosional. Mereka mungkin memiliki gangguan kepribadian antisosial, yang melibatkan kurangnya empati untuk orang lain dan ketidakpedulian terhadap norma-norma sosial atau moral. Mereka juga mungkin mengalami stres atau trauma yang ekstrem, yang bisa memicu perilaku agresif atau kekerasan. Ada begitu banyak tali temali dan konektivitas antarunsur yang menyebabkan seseorang bisa berperilaku sadis tanpa rasa takut apalagi rasa bersalah.

Jika kita melihatnya secara sosiologis, maka lingkungan dan kondisi sosial ikut berperan penting dalam memengaruhi perilaku kekerasan. Misalnya, individu yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan atau penyalahgunaan mungkin lebih cenderung untuk menjadi agresif atau tanpa takut untuk melakukan kekerasan. Karena ia sudah terbiasa menyaksikan bahkan mengalami langsung sebagai korban dalam rangkaian rantai kekerasan tersebut.

Sedangkan secara hukum, pembunuhan adalah kejahatan yang serius dan harus dihukum berat. Hukuman untuk pembunuhan dapat berkisar dari penjara jangka panjang hingga hukuman mati, tergantung pada hukum spesifik negara atau negara bagian tersebut. Tetapi melihat maraknya kasus ini terjadi, nampaknya memang penegakan hukum kita belumlah berjalan optimal. Penegakan hokum yang mana suka, menimbulkan rantai kekerasan baru dalam masyarakat, karena mereka merasa hukum tidak mungkin menyentuhnya.

Apa Yang Mesti Dilakukan?

Untuk mencegah dan mengatasi perilaku kekerasan seperti pembunuhan, diperlukan pendekatan yang komprehensif yang melibatkan intervensi psikologis, sosial, dan hukum. Orang dengan gangguan mental atau emosional mungkin membutuhkan terapi atau pengobatan. Demikian pula, intervensi sosial seperti pendidikan, pekerjaan, dan layanan sosial dapat membantu mengurangi faktor-faktor risiko sosial untuk kekerasan. Penegakan hukum yang efektif dan adil juga penting untuk mencegah kekerasan dan memberikan keadilan bagi korban.

Pencegahan tindak kekerasan serius seperti di atas membutuhkan beberapa langkah yang bisa diambil antara lain: 

Pertama, Pendidikan dan Kesadaran. Masyarakat perlu diberi informasi tentang masalah kesehatan mental dan bagaimana cara mendeteksinya. Program pendidikan dan pelatihan dapat membantu orang mengenali tanda-tanda gangguan mental dan memahami pentingnya mencari bantuan profesional. Hal ini paling utama dilakukan dalam keluarga. Gereja Katolik, dalam masa Persiapan Hidup Berkeluarga, menyediakan materi-materi dan pendampingan agar pasangan yang akan menikah nantinya mampu menjadi suami istri dan orang tua yang baik. Aspek mental dan kesiapan membangun hidup berkeluarga supaya mereka nanti bisa menjadi pendidik dan guru yang utama dalam keluarganya, termasuk membangun kesadaran diri untuk mengatasi gangguan mental jika ada. Bahkan, pasangan yang terindikasi ada gangguan mental tidak diijinkan untuk menikah. Di sinilah peran keluarga sebagai pembentuk Budi Pekerti dan Karakter anak dipersiapkan sedini mungkin. Lembaga agama, khususnya Gereja memberikan peran edukatifnya dalam iman dan kepribadian.

Kedua, Akses ke Layanan Kesehatan Mental. Memastikan akses yang mudah dan terjangkau ke layanan kesehatan mental adalah langkah penting. Layanan ini bisa termasuk konseling, terapi, dan jika perlu, pengobatan.

Ketiga, Dukungan Komunitas. Masyarakat dapat memainkan peran penting dalam mendukung individu yang berjuang dengan masalah kesehatan mental. Dukungan ini dapat melibatkan menciptakan lingkungan yang bebas stigma, mendukung individu dalam mencari bantuan, dan memberikan sumber daya dan dukungan jangka panjang. Pertemuan-pertemuan rutin di tingkat RT bisa menjadi salah satu cara agar warga saling memperhatikan, termasuk kesehatan mental sesamanya.

Keempat, Perlunya Intervensi Dini. Deteksi dan intervensi awal sangat penting dalam mencegah perkembangan gangguan mental menjadi lebih serius. Keluarga, sekolah, tempat kerja, institusi keagamaan dan institusi lainnya harus dilengkapi dengan sumber daya untuk mendeteksi tanda-tanda awal dan merujuk individu tersebut ke layanan profesional.

Kelima, Kebijakan Publik. Pemerintah perlu dan harus berperan aktif dalam menciptakan dan menerapkan kebijakan yang mendukung kesehatan mental. Ini dapat melibatkan pendanaan untuk layanan kesehatan mental, perlindungan hukum untuk individu dengan gangguan mental, dan program untuk mencegah dan merespons kekerasan. Dana-dana desa yang miliaran lebih difokuskan untuk pengembangan SDM semacam ini, bukan melulu untuk buat gapura selamat datang atau pavingisasi jalan-jalan desa biar Nampak sehat, tetapi mengabaikan kesehatan warganya.

Keenam, Penegakan Hukum dan Keadilan. Sistem hukum harus berfungsi untuk mencegah kekerasan, melindungi korban, dan menegakkan hukum. Ini termasuk pelaporan, penyelidikan, dan penuntutan tindak kekerasan. Para penegak hukum perlu membangun pola penegakan hukum yang komprehensif, bulan semata-mata hokum normatif, yang mencari siapa salah secara hitam putih. Tetapi perlu mengembangkan aspek-aspek lain yang berpuncak pada penegakan hukuman secara adil dan bukan tebang pilih. Masyarakat cenderung tidak peduli dengan hukuman karena rendahnya edukasi soal hukum dalam kaitannya dengan relasi sosial. 


Kita berharap, semakin tua bangsa ini, kedewasaan hidup berbangsa, hidup bermasyarakat dan kesehatan mental seluruh masyarakat dijamin secara undang-undang. Artinya seluruh warga mendapatkan akses dan perlindungan yang menyeluruh. Kurangi lip service yang bersifat menyenangkan masyarakat, tetapi tidak sungguh-sungguh menjadi solusi. Dan semoga, hal-hal yang sepele dalam interaksi sosial, tidak membuat seseorang mudah gelap mata dan menghabisi hidup orang lain. 

Ingatlah, betapa susah dan deritanya seorang mengandung anaknya selama 9 bulan 10 hari, dilahirkan dan dibesarkan lalu pada akhirnya dihabisi oleh orang lain tanpa perikemanusiaan dan belas kasih sedikit pun!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun