Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perginya Si Rindu, Pulang dan Angkringan

27 April 2024   21:28 Diperbarui: 27 April 2024   21:43 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Pinurbo bersama Tengsoe Tjahjono, Eka Budianta dan Rm. Dr. G. Subanar, SJ (foto dari FB KPKDG)

PERGINYA SI RINDU, PULANG DAN ANGKRINGAN 

Catatan kenangan oleh: Alfred B. Jogo Ena

Pria berperawakan kecil dengan suara yang lembut, kata-katanya seperti selalu beranak alias menyampaikan pesan-pesan bersayap yang multi makna. Dalam. Objektif. Dan juga menjadi bagian keseharian. Tema-tema tulisannya sederhana, tetapi mengandung kritik diri dan kritik sosial yang amat mengena. Yang dikritik bisa sambil tersenyum membacanya tanpa merasa terusik (bisa karena asyik dengan mainan diksi Jokpin, bisa juga memang susah dikritik). Orang bisa betah ngobrol bersamanya ditemani kepulan uap kopi dan asap rokok, dengan aneka tema tentang kehidupan, mendongeng kata. Tak ada habisnya. Tapi tak ada yang tidak betah, seakan lupa waktu. Karena waktu bersamanya adalah kata.

Saya pribadi baru pertama kali bertemu Jokpin ketika ada kopdarnas Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG) kedua di Ambarawa, Agustus 2016 bersama beberapa pendamping dan pembina antara lain Eka Budianta (Jakarta), Tengsoe Tjahjono (Korsel-Malang), Rama Dr. G. Budi Subanar, SJ (Yogyakarta).

Hampir subuh kami menyelesaikan pertemuan perdana bagi sebagian besar dari kami penulis yang ada di Joglosemar: Jogjakarta (dan Magelang), Solo dan Semarang. Dalam perbincangan yang mulai diwarnai kantuk dan dinginnya (Ambarawa di malam hari) yang saya ingat sampai sekarang kata-kata Jokpin tentang menulis bahwa kalau mau menulis kita harus "mencari tema yang bisa dibaca secara berulang-ulang dan dicari berulang-ulang."

Jokpin menyoroti peran penulis katolik untuk Mewartakan Kasih melalui Karya Sastra. Menulis sebuah puisi itu gampang, tinggal kita bermain kata-kata. Tetapi yang sulit itu adalah bagaimana setiap puisi itu benar-benar menunjukkan kekatolikan kita, tanpa kita nyatakan secara gamblang kita katolik. Cukup orang membaca tulisan kita, orang langsung tahu kita katolik. Itulah yang susah. Butuh keberanian yang berdarah-darah (WANI NGGETIH, berani berkorban).

Kata-katanya itu sungguh ia sendiri hayati. Puisi-puisi dan antologi puisinya selalu dibaca dan dibaca ulang oleh para pembaca. Puisinya selalu tentang aneka tema kehidupan yang ditulis dengan sederhana dan diksi yang sulit untuk dilupakan. Karena setiap diksi yang dipilihnya, selalu menyiratkan dua tiga pesan yang sulit untuk dilupakan. Ingat saja kata-katanya tentang Yogya: "terbuat dari rindu, pulang dan angkringan." Rindu, Pulang dan Angkringan ketiga kata yang bagi siapapun yang pernah lama tinggal di Yogyakarta akan membenarkannya.

Tahun 2016 silam dia juga menulis sebuah puisi tentang retaknya relasi personal, relasi persahabatan, relasi kekerabatan akibat pilihan politik seseorang. Ia menggambarkannya dengan indah namun tajam dalam puisi Surat Untuk Ibu berikut ini.

SURAT UNTUK IBU

Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu.
Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya
yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo
sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.

Oh ya, Ibu masih ingat Bambang, 'kan?
Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang
makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah
kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.

Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit
yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan
keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat
nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi
kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit
atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.

Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu
berdentang nyaring dan malam damaimu
diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan.

(Puisi disadur dari: sepenuhnya.com)

Puisi ini menggambarkan bertapa Joko Pinurbo amat piawai menggabungkan pemikiran filosofis dan kritis dalam karyanya dengan hal sederhana. Dalam puisi ini, dia membahas tentang konsep persepsi, kebenaran relatif, dan identitas dengan cara yang introspektif dan kritis. 

Dia menggambarkan kompleksitas pikiran dan perasaan manusia, serta mempertanyakan norma-norma sosial yang diwariskan. Betapa, pilihan politik yang berbeda bisa membuat seseorang melupakan nilai-nilai kekerabatan dalam masyarakat. Persahabatan bisa terlucuti hanya karena naiknya status sosial tertentu dalam kekuasaan. 

Betapa kita bisa melihat bahwa karya Joko Pinurbo tidak hanya membangkitkan refleksi pribadi, tetapi juga mengajak pembaca untuk mempertanyakan paradigma yang ada dalam masyarakat yang bisa terjungkir balik oleh keadaan yang mendesak.

Kepergianmu telah meninggalkan legitimasi tentang kesastraan yang tak terbantahkan. Caramu mengkritik kehidupan sosial, kehidupan berbangsa amat sederhana, sesederhana dirimu, dengan bahasa yang santun, indah dan menikam nurani.

Terima kasih atas warisanmu yang luar biasa ini. Kami akan meneruskannya dalam perjalanan Indonesia ke depan. 

Selamat beristirahat dalam keabadian, seabadi nama dan karyamu yang kau wariskan bagi kami dan dunia.

Joko Pinurbo bersama Tengsoe Tjahjono, Eka Budianta dan Rm. Dr. G. Subanar, SJ (foto dari FB KPKDG)
Joko Pinurbo bersama Tengsoe Tjahjono, Eka Budianta dan Rm. Dr. G. Subanar, SJ (foto dari FB KPKDG)

Kaki Merapi, 27 April 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun