Situasi dan kondisi anak-anak dewasa ini tentu sangat beda dengan zaman dulu. Apalagi dengan segala bentuk kemudahan yang dimiliki, anak-anak dewasa ini tidak terbiasa tertantang dengan hal-hal yang sulit baik secara fisik maupun psikis.Â
Makanya salah satu sarana memperkuat fisik dan mental itu adalah dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung seperti kegiatan olahraga dan pentas seni di kampus.Â
Bagi mahasiswa yang banyak aktif di aneka kegiatan kampus tentu merasakan manfaatnya, meski tidak mengabaikan tugas utama, belajar dan selesai kuliah tepat waktu.
Kedua, Mahasiswa. Mahasiswa harus diberi kesempatan untuk berbicara tentang perasaan dan pengalaman mereka tanpa takut akan stigma. Mereka harus didorong untuk mencari bantuan profesional jika mereka merasa stres atau tertekan.Â
Selain itu, mahasiswa juga harus mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya menjaga kesehatan mental mereka. Hal-hal itu bisa diberikan sejak awal masa orientasi kampus.Â
Banyak dosen dan pakar yang tentu lebih tahu kebutuhan dasar mahasiswa sebelum benar-benar "tenggelam" dalam kuliah yang menyita perhatian. Perlu ada ruang yang membiarkan mahasiswa untuk mengungkapkan segala bentuk kekecewaan mereka dengan tetap dipantau atau didampingi dosen pembimbing atau semacam wali rohani yang bersedia menjadi "tempat sampah" bagi mereka untuk melepaskan aneka tekanan batin mereka. Hal ini bisa terlaksana hanya bila si mahasiswa peka dan terbuka dengan keadaan dirinya dan terbuka pula kepada pihak kampus.
Ketiga, Orang Tua. Orang tua harus mendukung anak-anak mereka dan berkomunikasi secara terbuka tentang stres dan tekanan yang mungkin mereka alami. Mereka juga harus didorong untuk mencari bantuan profesional jika mereka merasa khawatir tentang kesehatan mental anak mereka.Â
Saya masih ingat cara ayah saya melatih kami berani dan kuat secara mental dan fisik, tidak boleh stress. Saya ingat dengan baik saat masih SD dan SMP di pesisir selatan Kabupaten Ngada, karena kami memiliki rumah di dua tempat berbeda dengan jarak tempuhnya 11 km.Â
Kami sering disuruh berangkat pukul 04.00 pagi dari rumah dan harus sudah tiba di sekolah sebelum pulul 06.30. Hal itu bisa dilakukan seminggu sekali atau dua kali.Â
Setelah sekian tahun baru terasa manfaatnya, kita punya ketangguhan untuk mengatasi rasa takut (lelah atau sakit, hari masih gelap, terlambat di sekolah) dengan berusaha untuk seolah-olah sedang lari atau jalan cepat. Jangan bayangkan lari pagi seperti dewasa ini dengan sepatu lengkap dan bawa HP untuk selfie-selfie. Setiap orang tua perlu mempersiapkan mental bagi anak-anaknya agar siap menghadapi tantangan atau menanggung beban hidup, ada semangat dan daya juang.Â