Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Tanah-tanah yang meranggas menanti usapan sembari benamkan zat kehidupan di dasar buana. Tetapi bagaimana bisa meresap kalau beton-beton pencakar langit menancap kokoh-mencengkram menggerus habis seluruh labirin vitamin bumi, tinggalkan sisa-sisa kejayaan leluhur.
Lihatlah, di Jakarta gunung gemunung bertingkat menutup ruang mentari yang tak mampu membantu pepohonan berfotosintesis. Kala hujan melanda, sungai-sungai gelisah terdesak hunian manusia yang mulai lunak pindah ke vertical house, biarkan sungai kembali ke habitat.
Jangan salah, secanggih apa otak insani tak pernah mampu prediksi cara alam wujudkan geliatnya yang kadang tanpa kompromi. Jangan lupa waspada apalagi terlena musim hujan ini seperti perjaka hendak melamar perawan malah terjebak utang nyawa: salah kaprah menanti hujan, duduk manis di dasar sungai kering, lupa hujan di hulu menyapu segalanya ke hilir.
Puisi setelah hujan kadang salah kamar juga salah jalan: sungai menganak truk yang sibuk mengeruk kekayaan, jalan salah tempat menjadi punggung air hanyutkan segala dusta. Ya dusta insan-insan tak tahu memangkas habis hutan-hutan peresap, menimbun habis rawa-rawa resapan.
Ingat, jangan lupa waspada kalau kau melintasi hutan-hutan yang meranggas pilu: dia tak bisa menahan tangisan langit tercurah menyapu apa saja yang menghalangi jalan alaminya. Dan kulihat sendiri, paving-paving depan rumahku terguncang bingung hendak menyingkir memberi jalan pada air-air yang menyapa-labrak membentuk kali baru di depan hidungku.
Jangan lupa sadar, bila alam membalas meski kau bisa berkelit-melicin bagai belut berbalur oli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H