Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pancasila "Puncak Gunung" Kepribadian Indonesia

3 Juni 2022   16:06 Diperbarui: 3 Juni 2022   16:17 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: (foto: anri.go.id) 

Pancasila, definitif kontraktual masyarakat Indonesia. Ini menandakan bahwa tak ada dasar lain yang diterima. Pancasila, dasar Indonesia yang lahir dari suatu proses refleksi yang intim founder fathers kita. Kata kunci disini ialah refleksi oleh founder fathers.

Bahwa kemampuan founder fathers, menyusun dan menenun menjadi satu yaitu Pancasila, pun berkat Tuhan Yang Mahaesa. Atas dasar tuntunan Tuhan Yang Mahaesa, founder fathers memahami dan memutuskan keseluruhan nilai-nilai bangsa, menjadi kepribadian Indonesia. Maka disinilah Pancasila, "puncak gunung" kepribadian Indonesia.

Pancasila, tidak diubah lagi. Ini kenyataan yang ada hingga saat ini. Walau, terkadang pihak-pihak tertentu yang mencobai untuk itu. Namun, berkat Tuhan Yang Mahaesa pula, usaha-usaha ini, gagal. Ini kenyataan dan mau menyatakan bahwa Indonesia, masih menenmpatkan Tuhan Yang Mahaesa, Sosok yang agung, tujuan Indonesia.

Pancasila, masih tetap kokoh hingga hari ini. Kenyataan ini, berbeda dengan UUD 1945. UUD 1945 telah beberapa kali dilakukan amandemen. Amandemen, yang kenyataannya juga, berujung pada amburadulnya berbagai peraturan, yang terkadang mengalami perubahan. 

Perubahan-perubahan inilah, yang memunculkan berbagai kebingungan akibat multi tafsir. Memang UUD 1945 bukan kitab suci, namun dalam UUD 1945 telah ditetapkan secara filosofi, kemana negara ini hendak dituju. Ok lah, ini tidak diperpanjang dalam ulasan ini! Tetapi, harus diakui bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah satu kesatuan, yang membentuk dan mengarah tujuan Indonesia ini ada.

Sila Pancasila

Ketuhanan Yang Mahaesa, sila inti. Karena itu, negara Indonesia dibangun atas dasar Ketuhanan Yang Mahaesa. Bukan agama. Sebab jika agama, maka hanya agama tertentu saja yang diakui. Kepercayaan yang lain, yang menjadi dari Indonesia ini, akan tidak masuk dalam pengakuan! Inilah sisi krisis yang sedang menjadi polemik.

Ketuhanan Yang Mahaesa, ditempatkan diatas dengan berbagai dasar pemikiran.

Pertama, Ketuhanan Yang Mahaesa ialah pengakuan manusia Indonesia akan tujuan hidupnya, akan perlindungannya, akan hidupnya itu sendiri. Pengakuan manusia Indonesia ini, diungkapkan melalui tanda-tanda dan simbol-simbol, sebagai isyarat bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang beriman akan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Kedua, manusia beriman akan Ketuhanan Yang Mahaesa, tidak hanya diungkapkan melalui tanda-tanda dan simbol yang bermakna tadi, tetapi tanda dan simbol yang bermakna itu, ialah hidupnya sendiri dalam kenyataannya, yaitu berelasinya dengan Tuhan Yang Mahaesa lewat berdoa atau sembayang, lewat relasinya dengan sesama dan alam, 

lewat persatuan dan persaudaraan, lewat duduk bersama untuk musyarakat-mufakat yang demokratis, dan lewat bergotong royong membangun keadilan sosial seluruh warga Indonesia, tanpa terkecuali. Sisi inilah yang sering kita sebut perwujudan nyata secara horisontal dalam dunia Indonesia.

Makna sila Pancasila dalam hidup 

Memaknai sila Pancasila, memang tidak mudah. Tidak mudah karena konsep teoritis dengan realitas hidup, yang diimplementasikan dalam kenyataan hidup yang berbeda. Sudah berbeda dalam praktek hidup, masih juga merasa diri jauh lebih berkualitas ketimbang orang lain. Ini pemaknaan benar tetapi dalam realitas terjadi penyimpangan. Karena subyektivitas yang sombong dan merasa diri hebat ketimbang pihak lain.

Disinilah, tidak semua memahami keragamaan yang orisinal. Keberagamaan selalu dipahami dalam konteks tertentu seperti agama, politik, ekonomi, dan budaya. Keberagaman perlu ditempatkan dalam kerangka bathin dan kepala dari kerangka bathin itu harusnya Pancasila. Sementara bathin seseorang harus disiapkan untuk membiarkan Pancasila merongrong dirinya, supaya tidak lupa akan nilai-nilai budayanya sendiri.

Karena Ir. Soekarno pernah mengatakan "marilah kita semuanya ber-Tuhan, hendaklah negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa, segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni tiada egoisme agama...", ungkap Prof. Dr. Mgr. Adrianus Sunarko, ofm dalam Hahal Bi Halal bersama Umat Katolik dan Muslim Kota Batam (1/6/2022).Bisa Baca Disini!

Dalam konteks keberagaman, yang menempatkan Pancasila sebagai jiwa bathin warga, cara pandang ilmu pengetahuan dan akal budi yang menerapkannya, sungguh mempengaruhi cara berpikir dan cara memaknai sila demi sila tentu saja begitu dinamis.

Dalam konteks kedinamisan berpikir dan memaknai, ruang dialog harusnya dibuka lebih lebar dan banyak. Sering jumpa dan sharing, bertukar pikiran dengan jujur dan saling mengenal satu sama lain, cara pendukung untuk menangkal pemaknaan Pancasila secara radikalis. Dinamis-demokratis, saling menerima buah-buah pemikiran dan menentukan mana yang terbaik, cara lain yang menjadi vitamin dalam dialog-dialogis.

Tidak hanya itu, pengaruh ilmu pengetahuan yang menandai pola pikir setiap warga Indonesia, perlu juga difilter dan dipilah, serta diteguhkan dengan pertanyaan, apakah bermanfaat untuk saya dan teman sekitarnya, jika nilai-nilai itu tak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Persepsi yang dialogis-pragmatis, harus diganti dengan akal sehat-waras yang dijunjang oleh nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.

 

"Bangkit Bersama Membangun Peradaban Dunia"

Ini sebuah tema yang menarik dan substantif ketika Pancasila ditempatkan dalam kerangka ini. Menarik karena peta jalan founder fathers pernah memaparkan Pancasila dalam rapat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti dikutip kompas.com dari buku Yudi Latif Mengapa Pancasila Begitu Penting?Disini!

Lalu substantif, karena Indonesia kini memiliki kemampuan membangun dunia dengan politik bebas aktifnya, tidak memilih salah satu blok dunia yang sedang berseteru. Sebagai misal, tidak memilih blok Rusia dan atau Ukraina, ketika perang terjadi di Ukraina. 

Lebih memilih perdamaian dengan berwawasan konstitutif ketika China mencoba menerobos Laut China Selatan di Natuna Utara, dan bahkan Ir. Joko Widodo, bersedia untuk menjadi pemimpin G20 dan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan G20 di Bali.

Peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah ini harus diakui, karena Pancasila, dasar yang menjiwai bathin pemimpin, teladan bangsa Indonesia. ***

Pangkalpinang, 3 Juni 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun