Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahasa, Horison yang Luas dan Kreatif

17 Januari 2022   14:16 Diperbarui: 17 Januari 2022   14:42 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa itu banyak sekali. Hampir semua negara bahkan di daerah-daerah tertentu, memiliki ragam dialek bahasa tersendiri. Bahasa, khas memang. Bahasa muncul dalam sejarah sejak manusia pun ada.

Karena itu, bahasa merupakan hasil karya dan karsa manusia. Sebagai hasil karya dan karsa manusia, bahasa berkembang proses dari waktu ke waktu dan dalam suatu kelompok tertentu, hingga mendapat bentuk bentuk fonetik dan dialek yang menjadi khas sebagai alat komunikasi antar kelompok.

Orang-orang lain diluar kelompok, jika mau memakai bahasa kelompok lain, harus membutuhkan belajar dan paham apa maksud dari bahasa tersebut. Maka, bahasa itu simbol. Sebagai simbol, bahasa tidak hanya memiliki satu makna. Tetapi lebih dari satu. Itu berarti bahwa bahasa mempunyai horizon yang luas makna. Dan didalam horizon yang luas makna itu, membuka ruang bagi siapa pun, untuk kreatif memajukan bahasa itu.

Tidak salah, jika bahasa populer dan bahasa resmi, menjadi hal yang membedakan dalam setiap pemakaian bahasa itu sendiri.

Bahasa anak Jaksel?

Bahasa anak Jaksel dengan sepenggal bahasa asing atau bahasa suatu daerah yang disisipkan dalam Bahasa Indonesia, ataupun sebaliknya yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, bukan hanya di Jaksel. Fenomena berbahasa demikian hampir melanda setiap orang, baik itu di metropolitan maupun di daerah-daerah pelosok. Ini merupakan dampak dari penggunaan teknologi modern dewasa ini. Dan hal demikian ini pun, bukan hanya sekarang dengan keterbukaan teknologi modern, namun di masa-masa lalu, pun telah terjadi.

Sebagai contoh, Bahasa Indonesia mendapat serapan dari bahasa-bahasa lain, kata boneka serapan dari bahasa Portugis, kata boneca, juga dwifungsi, kata dwi dari bahasa sankreta, dll. Bedanya bahwa dulu serapan bahasa hanya kata-kata tertentu saja, tetapi sekarang seakan hampir satu kalimat, kemudian kalimat lanjutan baru bahasa Indonesia, ataupun sebaliknya.

Fenomena berbahasa seperti ini, memang kedengarannya, janggal untuk orang lain yang bukan sekelompok. Tetapi bagi suatu kelompok yang sudah terbiasa, akan menjadi terbiasa, dan bisa saja menciptakan peluang menjadi bahasa, alat komunikasi dalam kelompok tertentu sekaligus menjadi simbol untuk kelompok tersebut.

Konsekuensi logisnya ialah bahwa ketika mau memakai atau masuk ke dalam kelompok tersebut, kita harus belajar dan berusaha untuk memahami bahasa kelompok itu.

Inilah sebenar sebuah fenomena berbahasa dan lama kelamaan, akan menjadi biasa. Ingat sebuah pepatah ini, Allah biasa karena biasa. Begitu pun memakaian bahasa dengan campuran dari berbagai bahasa dan ragam dialek. Bisa saja memunculkan dialog yang baru sebagai khas suatu kelompok.

Fenomena Bahasa, perlukah taku dengan Bahasa Indonesia?

Bahasa Indonesia, alat komunikasi negara kita. Resmi menjadi Bahasa Negara Indonesia. Tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi lebih jauh dari itu adalah alat mempersatukan semua bahasa ibu dari setiap daerah dan budaya di Indonesia. Inilah kekhasan Bangsa kita.

Karena kekhasan ini, maka Bahasa Indonesia menempatkan posisi sebagai alat utama berkomunikasi dalam konteks Indonesia. Konsekuensinya peran kita dalam hidup sehari-hari penting disini. Apakah kita dalam berkomunikasi baik dengan anggota keluarga maupun dengan tetangga dengan menggunakan bahasa Indonesia atau campuran bahasa? Masihkah di sekolah-sekolah Bahasa Indonesia ditempatkan menjadi pembejalaran utama atau bahasa lain yang menggantikan Bahasa Indonesia?

Hari-hari ini, kita meragukan Bahasa Indonesia, adalah suatu gejala yang wajar. Kewajaran ini bagi saya merupakan sesuatu yang harus kita check dengan diri sendiri. Kita check juga dengan orang-orang yang ada disekitar kita. Kita check di tempat dimana anak-anak kita belajar dan bergaul.

Pemakaian bahasa yang campur beberapa bahasa pun, terkadang kita temukan dimana-mana. Kita lebih cenderung memakai bahasa asing, sehingga kedengarannya lebih oke. Pemakaian semacam ini, banyak terjadi hampir disetiap forum diskusi dan ruang pendidikan. Ini suatu pembelajaran bagi kita. Bahwa hal-hal semacam ini tanpa sadar memiliki dampak, walaupun dampak itu kecil sekalipun.

Hal-hal semacam ini pun mau menandakan bahwa Bahasa Indonesia kini berkembang dan bertumbuh dengan berbagai kata-kata serapan dari luar. Bahasa Indonesia, menjadi simbol dalam berkomunikasi yang masih memliki horizon yang luas untuk menerima dan menciptakan aneka ragam kosa kata.

Toh, dalam berbagai sejarah beradaban, Bahasa itu masih dipakai atau tidak, terletak pada masyarakat yang menggunakannya. Dalam hal inilah, hemat saya Bahasa masih berkembang sesuai dengan peradaban masyarakat suatu negara atau daerah itu sendiri. ***

Pangkalpinang, 17 Januari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun