Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Fenomena, Mendengar Sunyi dari yang Berbunyi

4 Desember 2021   23:47 Diperbarui: 4 Desember 2021   23:53 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang kita mendengar suara yang muncul. Mungkin tidak hanya mendengar tapi juga melihat dan merasakan. Dari suara yang muncul, pikiran memberikan informasi. Bahwa suara itu adalah suara A atau suara B dan seterusnya. Muncul suara yang terdengar, juga menunjukkan sumber suara, asal suara, jarak suara, dan lain-lain. Dan lebi jauh dari itu ialah dampak suara yang didengar, dirasakan dan dilihat. Mengejutkan atau biasa-biasa saja. Mendengar, melihat atau merasakan suara semacam itu, mudah. Gampang terdeteksi.

Lalu, bagaimana mendengar suara sunyi yang berbunyi? Benar ada suara yang sunyi sehingga harus didengar? Apakah yang sunyi itu memiliki kemampuan untuk berbunyi? Wah..., berat sekali! Mungkinkah suara sunyi itu ada dan berbunyi? Ha... ha...

Ada sebab, ada akibat

Akibat selalu tampak. Tampak, dalam pengertian, pertama-tama bisa dilihat. Namun tampak juga dalam artian dapat dirasakan dan didengar, bahkan terkait dengan panca indra.

Yang selalu tampak adalah akibat. Akibatlah lebih sering tampil ke permukaan. Namun, mungkinkah kita bertanya, dari akibat kita melihat, mendengar, dan merasakan sebab? Di tinjau dari sisi hukum sebab akibat, mestinya iya. Seseorang melihat, mendengar, dan merasakan akibat, langsung terbawa oleh akal, untuk mencari, menemukan akibat. Disinilah, seseorang dapat menerima, mengakui dan meyakini bahwa ada akibat tentu ada sebab, atau sekaliknya.

Dalam filsafat, Edmund Husserl menyebutkan bahwa ada fenomena. Fenomena itu tampak dihadapan kita, apa adanya, lolos dan luas horisonnya. Dari fenomena itu, kita melihat, mendengar dan merasakannya. Melihat, mendengar atau merasakan secara utuh atau tidak, tergantung kemampuan penyadaran diri.

Jauh dari fenomena itu Husserl menandaskan lagi bahwa ada lapisan yang paling bawah dari lapisan fenomena itu, yang disebutnya sebagai noumena, substansi, dan ada esensial. Dan dibalik semua ini, ada hal penting yang harus dicari tahu dan harus dilihat, dirasakan ataupun didengar. Tidak bisa hanya terbatas pada fenomena. Jika ini yang terjadi, kita terjebak dalam balutan fenomenisme. Melihat, merasakan, dan mendengar sebuah fenomena harusnya objektif, bukan subyektif.

Semestinya, ada kemungkinan permanen dari sebuah sensasi, ungkap filsuf J Stuarl Mill. Pendapat Stuarl dibenarkan oleh filsuf lain, Bernard Russell, bahwa harus ada kepekaan, sesuatu yang menengah dari subyek dan objek, dari fenomena, substansil, esensial, dan noumena. Noumena sebagai sebab yang menghadirkan akibat, yang dapat dilihat, dirasakan, dan didengar.

Suara Sunyi dari yang Berbunyi

Yang berbunyi adalah fenomena. Berbunyi, dapat dilihat, didengar, dan dirasakan. Yang tidak berbunyi, dapat dirasakan, dilihat, dan didengar. Sunyi, adalah noumena. Hal yang substansil yang mampu berbunyi. Ini boleh kita sebut sebagai esensial. Yang memiliki kemampuan untuk berbunyi yang didengar, dirasakan, dan dilihat oleh seseorang. Suara sunyi, bukan diam. Tetapi aktif dalam diri secara subtansil. Suara sunyi, sebab yang berbunyi. Yang memberikan isyarat serentak menandai suatu tanda, sehingga dapat dikenal dan dipahami.

Tak mungkin ada yang menjadi sebab, sehingga memunculkan akibat. Inilah hukum sebab akibat, yang sangat mempengaruhi cara pandang dan cara pikir banyak orang. Sehingga orang melihat dan memahami sesuatu akibat langsung merespons pada sesuatu sebab. Walau terkadang sebab yang dikatakan itu belum tentu benar. Karena sebab yang dikatakan itu "katanya".

Sampai disini, mendengar, melihat, dan merasakan sunyi, diperlukan kepekaan, kata Russell. Tanpa kepekaan, kita hanya mendengar, merasakan dan melihat fenomena. Begitu gampang kita akan terjerumus dalam fenomenisme. Jadi, fenomena yang semacam direkonstruksikan dengan lapisan noumena, substansil dan esensil, harus dibongkar untuk menemukan sebab, noumena. Sehingga dinamika berpikir selalu saja memiliki dasar sebuah pengetahuan. Dan karena itu, pengetahuan harus menjadi pembimbing kita mencapai kebenaran yaitu mendengar sunyi dari berbunyi. ***

Pangkalpinang, 4 Desember 2021 (11.43 wib)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun