Terhitung, sudah tiga kali saya ke Danau Toba. Tahun 2006, 2010, dan terakhir 2019. Saya pergi karena tugas kerja kemudian diajak untuk jalan-jalan ke Danau Toba.
Pergi pertama 2006 mempunyai kesempatan yang menarik. Bersama rombongan dengan kapal yang dicarter bisa mengelilingi Danau yang terbesar di Indonesia ini. Keliling Danau Toba, rasanya seperti mengarungi lautan luas.Â
Terkadang tiba-tiba angin kencang, ada gelombang, dan bisa menyaksikan kapal-kapal lain pun yang menyeberangi Danau. Rasanya seperti kapal menyeberang antar pulau. Padahal tidak demikian.Â
Kesempatan yang pertama mengeliling Danau Toba, rombongan kami singgah juga di Pulau Samosir. Sebuah pulau yang ada di tengah Danau. Uniknya. Tetapi itulah sebuah karya besar Sang Khalik, inspirasi Sang Sabda.Â
Bahwa hanya dalam keagungan Sang Khalik, sesuatu yang tidak mungkin, irasional menjadi mungkin dan rasional. Mungkin dan rasional karena nyatanya ada dan bisa dinikmati karena sebuah pemandangan yang bagus.
Ketika dalam perjalanan menuju Danau Toba, banyak cerita mitos seputar pembentukan Danau ini. Cerita Mitos itu, melenggendakan suatu nestapa. Dan dalam nestapa itu terberesit sebuah nilai moral.
Saya sendiri merasa biasa. Biasa karena hal-hal cerita semacam itu, hampir ada disetiap tempat. Namun, secara pribadi cerita ini tak dapat saya pungkiri. Sebab rentetan cerita memuat praksis hidup moral universal suatu masyarakat.
Saya pribadi justru lebih senang dan bangga jika saya melihat langsung Danau Toba. Danau besar dengan segala pemandangan yang inspiraratif itu mengagumkan. Mengagumkan saya disebabkan oleh empat hal ini:
Pertama, memiliki air yang tak pernah habis padahal danau ini sudah ada beribu-ribu tahun lamanya. Itu artinya, Danau Toba adalah sumber kehidupan. Danau Toba dalamnya ada banyak ikan, dan jenis-jenisnya. Bahkan menjadi tempat pemeliharaan ikan yang siap untuk dijual dan dikonsumsikan.Â
Sayangnya, tempat-tempat pemeliharaan ikan itu ketika dikelola dan ditata dengan baik, tidak hanya menghasilkan ikan tetapi sebagai ajang destinasi wisata air dan ikan air tawar.Â
Karena air adalah sumber kehidupan, maka tidak hanya soal kehidupan ikan dan lain-lain didalamnya, tetapi juga kehidupan masyarakat sekitarnya. Air Danau Toba untuk sumber air minum masyarakat, sumber pengaliran sawah dan ladang/kebun.
Bahkan ada begitu banyak kera / monyet atau burung dan hewan-hewan lain yang juga memanfaatkan air Danau Toba sebagai sumber kehidupan.
Kedua, destinasi wasata alam. Lekak-lekuk jalan ke Danau Toba atau sekitarnya menentukan bahwa Danau Toba itu dalam dan dikelilingi oleh barisan bukit yang tinggi.Â
Dari atas bukit-bukit yang dilalu kendaraan kita bisa menikmati panorama Danau Toba. Ada banyak pohon dan tanaman. Pohon cemara yang selalu ditiup angin, menghadirkan kesejukan. B
unyi aliran air yang ada dibeberapa titik, menentukan bahwa air menghidupkan seluruh ekosistem disekitar Danau Toba. Disinilah, kebanggaan warga Sumatera Utara.Â
Hanya di Sumut-lah, Danau Toba ini menghadirkan inspirasi penuh bernas dan mengasyikan warga. Air Danau Toba dan pepohonan sekitar, menjadi penyatu warga. Inilah Sabda Sang Alam yang mengedepankan komunitas saudara-saudari saya Suku Batak.
Panorama yang sungguh ajaib dan memesona tatkala kita mengelilingi Danau terbesar itu lalu sejenak berdiri di Tugu Pulau Samosir, depan pelabuhan Samosir.Â
Menginjakkan kaki di Samosir, berarti lengkap sudah kita mengelilingi Danau Toba. Mengapa? Kata pencerita disana, dari Samosir, sebuah keajaiban dan kepesonaan warga nampak jelas. Warna sarungnya khas. Bentuk bangunan pun unik. Dan lebih unik lagi kata pencerita, di gunung Samosir, masih ada danau lagi.Â
Sejenak, saya pun tertegun mendengar kisah ini. Bayangan saya dan menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana kalau danau di Samosir meluap? Ataukah bagaimana jika terjadi gempa lagi? Apakah di Danau Toba juga terjadi tsunami seperti gempa di laut?Â
Mudah-mudahan bayangan dan pertanyaan yang hadir dalam diri saya, tidak terjadi. Hanya ada dalam kuasa Sang Khalik. Beribu tahun warga yang hidup sekitarnya, telah merasa nyaman dan bahagia.
Ketiga, destinasi pertanian sekitar Danau Toba. Air yang banyak dan tak pernah kering, menjadikan kehidupan masyarakat sekitar hidup dari pertanian. Banyak sayur. Banyak buah seperti jeruk dan mangga.Â
Tidak hanya itu, di Tanah Karo yang begitu dingin dan sejuk, terdapat perkebunan teh dan jeruk serta sayuran yang meluas. Pertanian Tanah Batak menyuburkan masyarakat juga di propinsi-propinsi lain. Inilah kekayaan Danau Toba yang mampu berbagi dengan masyarakat Indonesia.Â
Keempat, masyarakat dan budaya yang terciptakan. Berjumpa dengan saudara-saudari suku Batak, ada dua kata yang selalu saya munculkan, yaitu kreatif dan banyak omong. Dua kata ini, rasanya banyak omong, yang seakan negatif.Â
Namun, dari banyak omong itu, unsur kreatifnya teraktualisasikan. Karena itu, mungkin baik kalau kita berjumpa dan mendengar baik-baik apa yang disampaikan saudara-saudari kita ini. Memang terkadang ada leluconnya, tetapi disinilah dinamisme kreatifitasnya terekspouskan.Â
Kreatifitas dalam banyak omong adalah juga sebuah inspiratif. Inspiratif ini terakomodir dalam keragaman warna enun ikat dan hiasan-hiasan warna di rumah-rumah adat mereka.Â
Gambaran enun ikat dan keagungan berdiri rumah-rumah adat, menunjukkan hal yang sama, masyarakat yang kreatif. Kreatifitas masyarakatnya ini pun tak tanggung-tanggung dalam perjumpaan dalam kelompok-kelompok di ruang publik. Kreatifitas ini terdengar keras namun bukan marah. Itulah cara mereka berkomunikasi.Â
Akhirnya, Danau Toba adalah kehadiran keagungan Sang Khalik yang menghadirkan Sang Sabda Alam yang menginspirasikan banyak gagasan dan menghidupkan masyarakat sekitar dan yang datang mengunjunginya. Saya bangga Indonesia, karena punya kekayaan yang mengangumkan dunia, itulah Danau Toba. ***
Pangkalpinang, 29 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H