Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Layakkah Indonesia Bantu Taliban?

18 September 2021   11:19 Diperbarui: 18 September 2021   11:36 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik Afganistan, akhir-akhir ini semakin parah. Islam moderat yang sejak awal didengungkan dalam rapat petinggi Taliban dan AS wakil NATO di Daho, Qatar Februari 2020, semakin jauh dari harapan dunia. Pilihan mengatur pemerintahan yang moderat dengan menempatkan penghargaan pada Hak Asasi Manusia (HAM) seakan hanya angan. Seperti utopiah, harapan yang tak terbatas, namun tak seindah seperti kesepakatan bersama. 

Kesepakatan Daho, menemu titik terang untuk resolusi. Konsekuensi logisnya AS dan NATO, lebih cepat evakuasi diri dari Afganistan. Bahkan, begitu menariknya mengambil hati NATO, Taliban melindungi NATO dan sekutu lainnya untuk mengevakuasi warganya dan kekuatan militer NATO. Hingga perlengkapan persenjataan sebagai kekuatan militer AS dan sekutunya, menjadi barang rongsokan di Afganistan. Apakah "barang ronsokan" NATO dapat dijual? Hitung-hitung lumayan juga untuk menjadi dana pemulihan perekonomian pemerintahan Afganistan yang baru. Ataukah menjadi tempat wisata baru (museum) bagi para pengunjung untuk melihat model-model persenjataan baru masa kini. 

Apa yang terjadi setelah itu? Para militer Afganistan, pemerintahan yang sah dikejar, digebuk, dibunuh dengan cara-cara yang tragis. Perang di Panjshir, salah satu bukti yang begitu nampak sekali, sebagai alat untuk menghancurkan sesama saudara, tidak hanya nyawa-nyawa warga Panjshir, tetapi justru pasukan Taliban mau merebut wilayah dan penghancuran benteng terakhir pemerintahan Afganistan yang sah. Corong negosiasi supaya demokrasi dibangun tak tercapai. Seakan perang menjadi alat satu-satunya untuk kemenangan Taliban. Akibat dari itu, situasi Afganistan semakin sulit dalam membangun relasi internal dan melanjutkan pembangunan internal negara model baru Afganistan. 

Kaum perempuan yang merupakan warga Afganistan, tak dihormati. Dengan cara membela diri bahwa tugas perempuan ialah mengandung, melahirkan, merawat anak, dan mengajar anak, seakan memberi ruang untuk karya perempuan. Tetapi sebenarnya, hanya ingin mengekang hak perempuan untuk membangun diri dan mau melarang kemajuan kaum perempuan dalam segala aspek. Tidak hanya itu, hak perempuan dibatasi dengan cara-cara yang tidak wajar. Sebagai misal, mahasiswi tidak boleh diberi izin duduk dalam satu ruang kuliah bersama kaum laki-laki, ataukah kalau perempuan pergi kerja harus didampingi dengan suaminya atau wali. Rasanya, miris sekali. Entah sadar atau tidak gaya kepemimpinan Taliban demikian, telah memancing suatu permusuhan baru dalam suatu generasi yang akan datang. 

Perempuan dihormati dengan cara-cara yang tidak wajar. Bahkan ketika kaum perempuan menuntut haknya pun diusir dengan cara dicambuk atau diberi tembakan peringatan. Wahhhh, rasanya sudah keterlaluan. Seakan mereka tidak pernah merasakan kebaikan seorang ibu yang melahirkan, merawat, dan membesarkan mereka hingga mereka menjadi laki-laki Taliban yang hebat. 

Apakah cara-cara yang tidak wajar memperlakukan kaum perempuan demikian adalah didikkan kaum perempuan yang adalah ibu mereka? Secara pribadi, saya tidak terlalu yakin dan percaya! Yang ada hanya mau menunjukkan egoisme kaum laki-laki dan kecongkakan hati yang ingin berkuasa. 

Situasi Afganistan dibawah naungan Taliban seperti ini, Indonesia harus bersikap hati-hati. Hati-hati maksudnya ialah supaya jangan sampai salah memberikan bantuan. Harus bijak. Harus benar-benar menentukan pilihan yang tepat, ketika mau memberikan bantuan. Membantu soal kemanusian, mungkin boleh. Tetapi hal ini pun harus diperhitungkan dengan baik. 

Bantuan diplomatik dengan memperhatikan persatuan dan perdamaian hidup bernegara, jauh lebih bijak. Dalam membangun persatuan dan perdamaian, syarat untuk memberikan bantuan harus dengan memperhatikan semua elemen warga masyarakat Afganistan. Inilah yang perlu dikomunikasi dalam konteks politik bebas aktif Indonesia. Peran perdamaian dan persatuan inilah yang lebih diutamakan oleh menteri luar negeri kita.

Hari-hari ini kabut mengepul di Afganistan karena situasi yang tidak kondusif. Kabut mengepul akibat situasi panas gurun. Juga karena terdengar bunyi-bunyi tembakan. Sementara itu, banyak warga yang terancam tidak bekerja dan akan ada muncul badai kelaparan, karena kekuarang logistik plus karena rasa takut. Begitu pun juga karena pawai tentara Taliban ada dimana-mana. Situasi demikian, mau menggambarkan bahwa Taliban justru berada dalam balutan rasa ketakutan. Siap-siap menghadapi ancaman internal dari berbagai etnis. 

Pangkalpinang, 18 September 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun