Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Bulan Pancasila, Rumah Pancasila Membangun Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

12 Juni 2020   16:14 Diperbarui: 12 Juni 2020   16:09 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://rosodaras.files.wordpress.com/2013/10/huijtink-bouma-sukarno.jpg

Tulisan ini sebuah refleksi atas Rumah Pancasila, khusus sila kedua Pancasila. Bahwa apa dan bagaimana arah dan fokus Rumah Pancasila membangun Kemanusiaan yang adil dan beradab?

Kemanusiaan yang adil dan beradab, itu sila kedua dari Pancasila. Intisari dari sila kedua Pancasila ini berbicara tentang "kemanusiaan". Tentu saja, "kemanusiaan" yang dimaksudkan ialah "Kemanusiaan Indonesia". Filosofi "Kemanusiaan Indonesia" itu salah satu hal dasar, dimana manusia Indonesia adalah fokus dan arah dalam hidup dan pembangunan nasional sebagai suatu bangsa dan negara, yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Karena manusia Indonesia adalah hal dasar maka siapapun dia dari latabelakang manapun juga, entah itu suku, agama, ras dan antargolong yang lahir dan hidup di bumi, dari Sabang sampai Marauke, dari Sangi Talau hingga Pulau Rote, itulah Indonesia. "Indonesia Tanah Air Beta", yang mengelora dalam jiwa raganya, memberikan harapan untuk tetap mengabdi pada "Indonesia Raya".

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Konsep "Kemanusia yang adil dan beradab", merupakan suatu pokok pemikiran para pendiri bangsa ini yang begitu idealis. Saking begitu idealisnya, konsep ini, menampakkan semangat nasionalisme untuk memerdekakan bangsa; menjadi haluan hidup dan perjuangan para pendiri bangsa ini.

"Maju tak gentar, mundur pun apalagi", menyelimut nurani sanubari mereka, yang menggelora, merebut martabat kemanusiaan Indonesia biar hidup dan berjuang tanpa penindasan. Merdeka! Sekali merdeka tetaplah merdeka. Luar biasa, kan?

Kemanusiaan yang adil dan beradab, terdiri dari dua kata-kata kunci. Kata-kata kunci pertama, kemanusiaan yang adil. Elemen-elemen kemanusiaan yang adil, yang dimaksudkan dalam butir ini, hemat saya ialah manusia Indonesia itu manusia yang integritas. Bahwa manusia Indonesia harus melihat dirinya yang tak terpisahkan dengan saudara-saudarinya yang lain (human). Juga termasuk alam yang ada disekitarnya (infrahuman).

Hidup bersama dalam satu keluarga, dalam satu lingkungan, dalam satu kampung, dan dalam satu wilayah yang lebih luas, yang diselimuti hawa udara perjuangan demi kemerdekaan, disinilah rasa kekeluargaan membalut jiwa dan gotong royong bersama membangun keadilan sosial. Maka tumbuhlah apa yang kita namakan, jiwa nasionalisme dan patriotisme, yang semestinya harus dikedepankan ketika berhadapan dengan saudara-saudari kita yang lain. Egoisme diri dan egoisme lokal, terselimuti! Rasa nasionalime dan patriotisme yang terasa, setia membangun bangsa dan negara ini.

Saya mengutip sebuah Whatsapp (WA) dari Romo Hardijanto SJ, tanggal 12 Juni, pukul 10:13, dengan mengutip dari https://www.gesuri.id, kata-kata Presiden RI pertama ketika berkunjung ke Ende Flores, pada 1951, isi kuitipannya demikian:

"Ketika saya berada di Ende tahun 1934 saya berkenalan dengan seorang pater (dibaca: bapak) yang bernama Huijtink. Adakah pater tersebut di antara saudara-saudara?" 

Huijtink mengangkat tangan. Sukarno memintanya maju ke podium. 

 "Dulu, aku datang ke Ende sebagai tahanan dan orang buangan dan Pater Huijtink banyak sekali membantuku. Sekarang, aku kembali ke Ende sebagai presiden. Apa yang Pater Huijtink minta dari presiden?" kata Sukarno.

Huijtink menjawab cepat, "Tuan Presiden, saya tidak meminta apa pun yang lain. Saya hanya punya satu keinginan: menjadi warga negara Indonesia."

Sukarno spontan menanggapi permintaan Huijtink, "Sejak saat ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia memutuskan untuk memberikan kewarganegaraan kepada Pater Huijtink. Hal-hal yang menyangkut urusan administratif akan diatur di kemudian hari."

Huijtink akhirnya tercatat sebagai warga negara Indonesia dan mengabdikan hidupnya sebagai pastor (dibaca: gembala) di Ende. Ia meninggal dan dimakamkan di sana juga.

Kutipan di atas tadi, mencerminkan rasa keadilan selain dirasakan oleh Pater Huijtink tetapi juga dirasakan oleh Ir. Soekarno, Presiden pertama RI ini. Rasa keadilan yang dimiliki itu, bukan pertama-tama karena jasa keduanya. Namun lebih dari itu adalah bagaimana keduanya dengan caranya masing-masing membangun Indonesia saat itu, supaya mencapai kemerdekaan, hidup bebas dari tekanan para penjajah.

Juga karena di satu pihak, pengalaman perjuangan itu, teresap dalam ingatan (memorial) Ir. Soekarno yang menggetarkan jiwanya, kemudian menjadi semangat yang melahirkan dispensasi kewarganegaraan untuk Pater Huijtink. Dan dipihak yang lain, semangat yang sama pun dirasakan Pater Huijtink, sehingga beliau sendiri berani memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengabdi sebagai warga negara baru yaitu Indonesia, di Ende Flores.

Kata-kata kunci kedua, kemanusiaan yang beradab. Kemanusiaan Indonesia dengan latar belakang yang berbeda-beda, disatukan dalam satu keluarga. Keluarga pertama-tama adalah keluarga domestica, keluarga biologis. Dalam keluarga biologis ini, pendidikan belum terlalu diutamakan, apalagi Indonesia sebagai a nation saat itu, belum terjadi. Hanya keluarga-keluarga terhormatlah yang mampu mendapatkan pendidikan yang baik.

Kemanusiaan yang beradab perlu diletakkan dalam konteks hasil dari suatu proses pendidikan yang panjang. Saya tidak mengulas soal pendidikan disini. Tetapi bahwa untuk mencapai atau memiliki manusia yang beradab, peran dan fungsi pendidikanlah yang menjadi proses utama. Didalam proses pendidikan itu, kemampuan berrefleksi manusia Indonesia baik secara pribadi maupun kelompok, hal lain yang mendukung keadaban sebagai seorang manusia.

Dalam konteks kemanusiaan yang beradab yang terikat erat dengan pendidikan, kembali saya mengutip lanjutandari  isi  Whatsapp (WA) Romo Hardijanto SJ, pada tanggal 12 Juni, pukul 10:13, dengan mengutip dari https://kumparan.com, kata-kata Presiden RI demikian:

"Kupelajari agama Kristen pada Van Lith. Aku terutama menaruh perhatian pada Khotbah di Atas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orangorang syahid yang mulamula, karena itu mereka berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untukNya, karena mereka tahu: Kami meninggalkan Kerajaan ini, akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan." 

"Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku. Aku seringkali mengulang mempelajarinya. Kemudian aku membaca Al Quran."

Membaca kembali barisan kutipan tadi, memberikan pada kita suatu proses pendidikan yang mendalam, yang melahirkan manusia yang beradab. Tidaklah mengherankan, jika jiwa Ir. Soekarno, memang tidak diragukan lagi. Nilai-nilai dan Prinsip-prinsip dalam Pancasila terkhusus kemanusiaan yang beradab, hasil sintesa dari suatu proses pendidikan yang panjang ini. Mau belajar dari manusia Indonesia dengan latar belakang berbeda, terukir dalam semangat diri Presiden RI pertama. Hebat kan?

Jiwanya yang bergelora, ekpresi kultur budaya Indonesia, menghantarnya melahirkan dendangan mazmur nasionalisme dan patriotisme pada Indonesia. Indonesia Bhinneka Tunggal Ika, diterimanya, dikumandankannya, dihargainya, dan dijadikannya dasar perjuangannya untuk mencapai kemerdekaannya. Sampai disini, kita boleh bertanya diri: mampukah kita anak bangsa saat ini, bergumul rentetan sejarah panjang Indonesia? Benar petuah Bung Soekarno: Jangan sekali-kali melupakan sejarah (dibaca: Jas merah).

Pendidikan yang panjang dari luar negeri (Belanda, dan mungkin negara lain) dan dalam negeri dengan cara yang tidak biasa misalnya melalui pembuangan dan tahanan perang yang dialami Ir. Soekarno. Proses pendidikan ini justru memerdekakan dirinya, melakoni pendirian bangsa dan negara ini. Ini semua, karena proses pendidikannya mampu dipahaminya, dirasakannya, dan diwujudnyatakannya, dalam sebuah bangsa dan negara yang merdeka, Indonesia Raya!

Quo vadis, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab - Indonesia Masa Kini?

Kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan hanya diperjuangkan oleh segelintir orang saja; sementara yang lain menonton dan memberikan kritik atas nama ketidakadilan. Ataukah karena keadilan tidak dirasakan, lalu dibilang ketidakadaban.

Untuk mencapai kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan sentralistik. Misalnya, satu kue lalu dibagi secara sama rasa, sama rata kepada segenap anggota masyarakat. Kemanusiaan yang adil dan beradab, memiliki jiwa juang yang gigih akan suatu kehidupan. Hasil juangan yang gigih, itulah yang diperoleh Presiden Pertama kita. Strategi dan cara juangnya yang adil itulah yang menunjukkan keadabannya. Sehingga tidak heran kalau dikenal sampai dunia internasional.

Indonesia masa kini, sedang dalam perjalanan panjang menuju kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang didapat dan dirasakan masyarakat pada suatu keluarga, kampung, atau wilayah yang lebih luas, itulah cerminan dari kemanusiaan yang adil dan beradab Indonesia. Gejolak-gejolak masyarakat karena belum merasakan keadilan, itupun juga cerminan wajah Indonesia. 

Keadilan belum merata dan keadaban belum terjaga dan terawat, iya! Pemerataan dalam pembangunan sedang diperjuangkan, entah sampai kapan. Walau isi bumi dan kekayaan alam Indonesia semakin tahun semakin menipis, ditambah lagi jumlah penduduk semakin hari semakin meningkat. 

Keadaban masyarakat Indonesia macam mana sih? Keadaban masyarakat Indonesia tercermin dalam pola kehidupan dengan tata moral dan estetika yang tinggi. Keseluruhan itu terungkap dalam sikap sopan santun, tata krama yang baik, tahu menghargai orang lain, adil, dinamis, terbuka, kerja keras, saling membantu, mudah berkomunikasi, rajin, daya juang, dan ramah.  

Sementara itu, di zaman sekarang ini, wajah-wajah seperti itu semakin tergerus oleh perkembangan masa kini. Muncullah sikap suka kritik, berbicara tanpa kontrol diri, emosional berlebihan sehingga memunculkan fitnah, hoax, dan kebencian terbuka. Lebih bersikap tidak mawas diri, lalu tanpa berpikir panjang sehingga tampak unsur kekerasan, entah pribadi entah kelompok. Jiwa keadaban berubah menjadi arogansi dalam berbagai bentuk entah itu kecil ataupun yang lebih membahayakan kehidupan umum. Ini semua, rentetan panjang refleksi yang perlu diola kembali dalam sanubari, sehingga menemukan kemanusiaan kita yang sejati yaitu adil dan beradab.

Tidak heran, jika kita diajak kembali untuk berrefleksi lebih dalam tentang peran dan fungsi pendidikan yang selama ini kita jalankan. Pendidikan semestinya membebaskan dan memerdekakan. Tetapi sayang, bahwa nilai dan prinsip keadilan dan keadaban, benar-benar belum dipahami, belum dirasakan, apalagi diwujudkan. Suatu PR besar bagi kita dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Sampai disini, tidak perlu kita pesimis. Justru masih ada waktu yang panjang untuk tetap membangun diri. Menatap masa depan bangsa dan negara ini dengan setia untuk menggali sejarah bangsa dan negara. Semangat nasionalisme dan patriotisme seperti para pendiri terdahulu mesti menjadi dasar perjuangan kita saat ini. Mohon maaf!

John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat pernah berkata: "Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepada ANDA, tapi tanyakan kepada diri kita: apa yang patut kita berikan kepada negara." Sembari mengutip kata-kata tadi, sebaliknya kita pun bertanya yang sama kepada diri kita seperti itu. Mari, kita berikan diri kita dengan cara manusia yang beradab untuk membangun negeri yang kita cintai ini. **

Inspirasi dari:

https://www.gesuri.id/serba-serbi/kisah-persahabatan-bung-karno-dengan-rohaniwan-katolik-b1WjhZkMT

https://kumparan.com/respati-wasesa/sukarno-ende-dan-katolik/full

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun