Di depan teras kuliner "Terrace X" terlihat begitu sepi. Tidak seperti biasanya. Lampu depan, redup. Biasanya, keramaian para pengunjung dapat disaksikan dari tempat parkiran. Ada kendaraan beroda dua ada juga yang beroda empat. Makanan yang disajikan sesuai dengan keinginan pengunjung. Ada lele goreng, ayam goreng, ikan goreng, lempah ikan tenggiri, dan lain-lain. Juga berbagai jenis minuman yang sehat yang tersedia di "Terrace X". Strategis memang kehadiran rumah makan "Terrace X" di Jalan Selan, Pangkalpinang. Tepatnya di samping RS. Bhakti Wara.
Senja ini, Vonny terlihat di teras "Terrace X". Entah kenapa, ia mondar mandir kesana kemari. Sedikit-sedikit ia melongoh ke dalam gerbang pintu "Terrace X". Terlihat lesuh dan agak awut-awutan. Motornya tidak dimatikan. Lampunya dibiarin hidup. Dari kejauhan nampak wajahnya menunduk. Rambutnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia duduk dimotornya, sambil menggenggam android, dan terdengar sura musik rock dari kejauhan. Bahkan sambil mendengar musik, ia menggeleng-gelengkan kepala, sambil mengikuti sentakan alunan musik rock yang diputarnya. Bagai musik hits yang ada di diskotik.
 Vonny sedang menunggu seseorang. Atau memang hanya singgah sebentar, mengisi waktu luang untuk menghibur diri dengan musik-musik rock, bisik Steven dalam hatinya.
Mata Steven terus menerus memperhatikan Vonny dan motornya yang lagi di teras "Terrace X". Tak lama berselang, tiba-tiba ada motor beat yang menghampiri Vonny. Mereka lalu ngobrol sebentar. Steven pun semakin menatap kedua motor itu sampai-sampai lupa mengedipkan matanya.
Jangan-jangan, mereka asyik omongi gue ini, bisiknya lagi. Tidak puas dengan apa yang dipikirkan, Steven yang tidak jauh dari simpang itu, merogokan sakunya. Diambilnya android, kemudian mencoba mencari nomor salah satu dari kedua sahabatnya itu.
Waduuuh, gawat, gak ada nomor pula, cetusnya dari kejauhan. Steven kemudian perlahan-lahan turun dari motornya dan duduk di aspal di dekat motornya itu. Sambil memutar "Kupeluk Hatimu" salah satu syair lagu NOAH. Steven mencoba mencari nomor hp Prima, teman dekatnya.
Terdengar suara Steven meminta Prima mengirim nomor hp Vonny. Tidak lama kemudian, terdengar suara "Separuh Aku" nada dering yang dipasang Vonny. Vonny melihat hpnya. Ia menunjukkan kepada temannya, tanda bahwa ada Steven yang sedang aktif. Vonny kelihatan masa bodoh saja. Tidak mau berbicara dengan Steven.
"Angkat saja, kasihan orang udah nelephon", perintah Maxi dengan nada serius. "Untuk apa?", sahut Vonny. "Biarin aja! Biar dia sampai capek nelephon", tambah Vonny.
Dari simpang "Terrace X", Steven begitu marah. "Sombong sekali kau Vonny", ungkap Steven dengan nada agak kecewa. Vonny tak peduli, ia serius mengobrol dengan Maxi. Entah apa yang dibicarakan mereka. Sementara itu, Steven begitu geram karena Vonny tidak lekas menerima telephonnya.
"Sini, saya yang angkat saja", pinta Maxi. "Untuk apa", jawab Vonny. "Iya, sebagai teman, kita tidak boleh begitu. Kita kan sahabat sejak di bangku SMA", jawab Maxi lagi. "Kita sekarang libur, jaga jarak, kerja PR dari rumah, dan jarang kita ketemu", nasihat Maxi. "Weee sok sekali kamu Maxi", balas Vonny. "Bukan sok, tapi kasihan, teman itu kan mau jumpa bersama kita", bela Maxi.
Bagaimana pun kita masih sahabat. Covid-19, tidak membuat kita bermasalah. Pandemi Covid-19 yang sedang marak ini, justru menghadirkan rindu kita. "Apa sih Pandemi itu, Maxi?" Orang-orang kok sekarang ini sedikit-sedikit sebut pandemi," tanya Vonny.
"Pandemi itu Vonny, kata Yunani. Dari kata "pan" yang artinya "semua" dan kata "demos" artinya masyarakat. Sederhananya, pandemi itu Vonny, penyebaran terjadi secara global, kepada semua masyarakat. Kena pada masyarakat lokal", jelas Maxi. "Woih..., genius kali kamu Maxi", balas Vonny. "Tau to Vonny, libur begini, kita itu banyak baca," gurau Maxi.
"Gaya kamu Maxi. Persis seperti sahabatmu, Steven. Kalian itu kalau rajin baca selama liburan, kerjakan PR kalian. Kalian itu jarang kirim PR lho selama libur ini", nasihat Vonny.
Maxi, keliat kelabakan. Kok Vonny ini tau jika kami tidak kerjakan PR, gumannya dalam hati. Von, nelephonlah Steven. Minta dia datanglah, Maxi mencoba mengalihkan perbincangan mereka. "Malas ah, Maxi. Teman seperti Steven perlu diberi terapi dulu. Biar, dia lebih mengerti," cetus Vonny.
Kriiiinggg..... kriiiiiinggg...., bunyi hp Maxi. Maxi mencoba mengeluarkan hpnya dari saku celana. Maxi menunjukkan layar hpnya kepada Vonny. "Oooooo... Prima yang bel," tandas Vonny. "Angkatlah Maxi," tambah Vonny. Maxi pun mengangkat panggilan Prima. Maxi mencoba bergeser agak jauh dari Vonny. Dari omongan Prima dan Maxi, Vonny telah merasakan bahwa Prima pasti omong sesuatu tentang keberadaan mereka di teras "Terrace X".
"Von, mau gak kita ke rumah Prima", ajak Maxi. "Memangnya kenapa ke rumah Prima?", tanya Vonny. "Kita ngobrol di rumah Prima aja," yakin Maxi. "Ok lah, yooo, kita ke rumah Prima", tantang Vonny.
Vonny siapkan diri dengan memasang masker. Menghidupkan motor. Dan kemudian menyusul Maxi dari belakang. Hampir satu setengah kilo mereka menempuh perjalanan ke rumah Prima. Jalan yang dilalui Vonny dan Maxi, sepi. Mereka tidak sadar bahwa sudah pukul 22.00 wib. Dari kejauhan, terlihat lampu teras rumah Prima, masih hidup. Nampak Prima dan Steven sedang ngobrol sambil ditemani musik-musik rock.
Maxi sedang menunggu Vonny di depan teras. Belum mau masuk, walau dari teras Prima telah mempersilakan masuk. Sambil mengeluarkan hp, Maxi menore ke belakang. Bisiknya, "Jangan-jangan, Vonny tidak mau menyusul." Dibelnya Vonny. Vonny sendiri tidak mengangkatnya. Lebih kurang tujuh menit kemudian, motor Vonny muncul. Vonny menggoncengi Susan, sahabat Prima. Maxi tersenyum ketika muncul kehadiran Susan. Maxi, sedikit menggelengkan kepala. Motor Vonny pun melaju cepat dari belakang dan mendadak berhenti di samping Maxi.
"Ada apa Maxi? Kok sepi Maxi di teras rumah Prima?", tanya Vonny menggugat Maxi. Lanjut Vonny, "kamu ini mau kerjakan saya, saya pun mau kerjakan Prima". Vonny pun ketawa. Maxi hanya tersenyum lebar.
"Pantasan, Prima tadi langsung lari ke dalam rumah!", cetus Maxi. "Eeee hemmm, itu kepala siapa Maxi", sahut Vonny. "Ha...ha... masa sih Von, kamu lupa!", timpa Susan. "Memangnya San, kamu kenal kepala itu", sergap Vonny, sambil menunjukan tangannya ke arah teras rumah Prima. "Iya..iya kenallah Von, itukan kepala....sambil ketawa menatap wajah Vonny.
Vonny terdiam dan mengarahkan pandangannya ke arah jalan masuk rumah Prima. "Susan, saya kan sudah lama tak jumpa. Masa epidemi Covid-19 ini, saya kurung di rumah saja. Nyaman lho di rumah?", jelas Vonny. "Vonny, kamu sebut kata epidemi itu, tau gak artinya?", tanya balik Susan.
Maxi yang sudah di teras rumah Prima bersama Steven, dipanggil Vonny. Seakan Vonnya meminta jawaban atas pertanyaan Susan. Susan pun menarik erat-erat tangan Vonny, untuk masuk ke teras rumah Prima. Vonny pun melemah dan ikut masuk ke teras rumah.
"Maxi, jawab dulu pertanyaan Susan", pinta Vonny. "Susan tanya apa sih, Vonny?," jawab Maxi. "Susan tanya apa sih epidemi itu?," balas Vonny. Mata Steven mengintip ke arah Maxi, tanda bahwa gak usah jawab. Biarin aja. "Biarlah, Steven jawablah," cetus Maxi. "Memangnya, Steven bisa jawab?", sahut Vonny.
"Jangan begitu Von, itu meremehkan Steven. Jaga kata-katamu itu Von", nasihat Maxi. Vonny pun terdiam sambil melirik ke arah Steven. Steven pun seakan-akan merasakan seperti sebuah rudal yang sedang mengguncang dadanya. Steven merespons dengan santai aja. Namun dalam hatinya, terasa miris dengan kata-kata Vonny. Seakan hatinya lagi berdarah-darah akibat tajamnya kata-kata Vonny.
"Von, supaya kamu juga tau, kata epidemi, yang ditanya Susan tadi, itu kata Yunani, kata "epi"yang artinya "kena pada" dan kata "demos" itu artinya masyarakat. Jadi, epidemi itu penyebaran penyakit secara cepat dengan jumlah terjangkit banyak dan tidak normal. Penyebaran itu terjadi disuatu wilayah," jelas Steven dengan nada santai. "Sudah paham Von?", tantang Steven lagi dengan raup wajah santai sembari sedikit mengedipkan mata, sebagai tanda perhatian khusus.
Vonny pun membalas tatapan Steven, dengan tersipu-sipu. Vonny memang pura-pura menutup dirinya dari teman-temannya. Tetapi dalam hati, hanya Steven dan Vonny yang tahu dan merasakan, bunga-bunga getaran hati yang lagi berkecambuk.
Vonny, merasakan apa yang sebenarnya dirasakan Steven. Keduanya terbalut dalam rasa dan asa. Hanya karena situasional, berjumpaan mereka menjadi halangan. Namun, WA jalan terus. Perjumpaan malam itu, jadi sarana tersimpulnya benang-benang cinta yang selama ini kusut akibat perang dalam WA android.
Perjumpaan malam itu, menandakan kekusutan benang-benang cinta, kembali terurai. Dalam kelut yang membela malam itu, Prima dan Maxi seakan diam, tapi kehadiran Susan yang dibawa Vonny, membangkitkan kembali semangat persahabatan mereka, karena sudah tiga bulan mereka tak bersua secara fisik.
Prima kemudian memecahkan langit teras kediaman yang sedang membisu, dengan mmeniru syair lagu "Separuh Aku" dari NOAH. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H