Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

ABK, Tanpa Nisan

10 Mei 2020   14:13 Diperbarui: 10 Mei 2020   14:06 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tahun 2001-2005 saya bekerja di wilayah Kepulauan Anambas. Wilayah ini perbatasan atau berada di Laut Cina Selatan atau sekarang disebut Laut Natuna. Wilayah kepulauan berarti wilayah yang terdiri dari gugusan pulau. 

Ada pulau besar tetapi lebih banyak adalah pulau-pulau kecil. Karena pulau-pulau yang terkadang berdekatan maka sesering mungkin gelombang laut pun begitu ganas. 

Banyak ikan dan jenis makanan laut lain tentu menjadi rebutan banyak orang, tidak hanya masyarakat kita tetapi juga kapal-kapal asing dengan bendera suatu negara tertentu pun muncul dan berlayar di lautan itu. 

Kapal-kapal asing menangkap ikan dengan perlengkapan yang cukup modern sementara masyarakat kita yang menghuni pulau-pulau itu notabene pelayan dengan perlengkapan seadanya: tali pancing dengan mata kail dan pukat-pukat sederhana. 

Pengalaman ini berubah ketika menteri kelautan kita dinahkodai Ibu Susi Puji astuti. Kapal-kapal asing yang melewati zona batas internasional ditangkap karena sudah masuk menerobos wilayah kelautan republik ini. Tidak heran, kata tenggelamkan menjadi viral diberbagai media sosial. 

Suasana serentak berubah. Mungkin yang lebih dirasakan masyarakat sekitarnya. Tapi jelas ada untung dan ruginya. Untungnya ikan-ikan dan hasil laut kita terjaga. Ruginya dimana masyarakat kita menjual ikan hasil tangannya? Rasanya hubungan simbiosis, sedikit terputus. 

Terlepas dari situasi tadi, pengalaman saya selama di Anambas menyisahkan beberapa hal tentang Anak Buah Kapal (ABK) termasuk ABK Indonesia yang lagi viral di kapal ikan RRT :

Pertama, menemukan mayat tanpa kepala atau tanpa badan. Setidaknya ada dua atau tiga kali dalam perjalanan dari Tarempa (ibu kota Kep. Anaknya) ke pulau Mengkait. 

Kompong (kapal kecil sebutan masyarakat setempat) yang melewati lautan itu menjumpai mayat dengan tanpa kepala atau tanpa badan yang terombang ambing diterpa gelombang. Saya hanya tertegun melihat. 

Rasanya kasihan dan dalam hati bergeming: siapa dan darimana mayat itu? Komponen pun lewat begitu saja, kami yang ada dalam kapal itu terdiam beberapa saat. 

Kemudian kemudi kompong itu meletup, bukan orang Indonesia, mungkin orang Vietnam atau Kamboja. Rupanya, orang-orang sekitar sering menjumpai peristiwa-peristiwa semacam itu. Bahkan cerita mereka, dalam kapal-kapal ikan negara asing, jika ABK-ABK berkelahi diantara mereka, dan ada yang mati, mayat-mayatnya dibuang di laut begitu saja. Juga termasuk sakit lalu mati atau karena dibumi karena alasan lain. 

Kedua, suatu kali saya berada di Pulau Mengkait. Tiba-tiba ada mayat yang terdampar di pulau itu. 

Masyarakat menjadi heboh. Namun hebatnya bahwa ada masyarakat yang mengambilnya dan menguburkannya ditepi pantai. Saya sendiri akhirnya merasa menjadi biasa. Tetapi hal-hal semacam itu menjadi tanda tanya besar dalam pikiran saya. 

Bahwa bekerja di kapal-kapal asing ataukah dalam perjalanan melintas lautan dengan jarak yang jauh, peristiwa kematian akibat sakit, atau hal lain, apakah tindakan membuat mayat ke laut adalah tindakan manusiawi? Manusia adalah pusat dan fokus yang dihormati dan dihargai yang melebihi barang lainnya. 

Dari pengalaman tadi, saya mencoba menalar dengan ABK kita di kapal RRT. Siapapun dia, jenis kerja apapun juga hukum mestinya mendukung dan menempatkan manusia sebagai subyek yang menyejarah yang memberi makna bagi manusia lain. 

Ketika manusia lain bertindak atas nama hukum tetapi tidak menghormati dan tidak menghargai manusia walau tidak produktif lagi, manusia lain dan produk hukum yang berlaku, sedang tidak waras dan krisis dalam moralitasnya. Manusia menjadi serigala bagi manusia lain (homo homini lupus).

Manusia, siapapun juga dengan beban hidup apapun juga, mestinya tetap berdiri untuk menegakkan dirinya sendiri dan sesama, tanpa menjadi mangga untuk sesamanya.

Manusia menjadi manusiawi karena akal budi, kehendak dan kebebasannya serta pengetahuan yang dimiliki harus lebih menja dirinya dan memberi makna yang menghidupkan bagi sesama (human) dan yang lainnya (infrahuman). 

Pengalaman ABK kita di kapal asing, negara harus berjuang untuk berpihak kepada warganya. Karena ABK kita adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama seperti manusia lain dalam kapal itu dan sama seperti manusia seperti kita. **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun