Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buruh Keburu Buruk...

1 Mei 2020   22:26 Diperbarui: 1 Mei 2020   23:25 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi, 1 Mei 2020 di kebun sendiri

Hari buruh selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei. Esensinya, tidak perlu diperingati secara khusus. Tetapi lebih bernilai, jika selalu diingati setiap hari atau saat. Jika hanya diperingati setiap tahun tanggal 1 Mei, maka keburu terlupakan maknanya. 

Saya lebih suka mengatakan maknanya daripada tugas dan tanggungjawab buruh. Karena jauh lebih bermakna dari sebuah kerja ketimbang hanya diperingati saja. Karena melalui kerja, buruh telah memberikan makna bagi orang lain. Maka kerja tidak hanya untuk dirinya saja.

Hari ini tanggal 1 Mei, ada tiga peristiwa penting yang selalu saya ingati. Pertama, kepergian untuk selamanya bapak saya. Seorang bapak yang begitu setia dengan pekerjaannya sebagai seorang petani. 

Dia pernah mengatakan kepada saya, jika kamu sekolah begitu tinggi, toh hanya satu saja yang dicari selama hidupmu. Ketika dikatakan begitu, sontak dahi saya jadi mengkerut. 

Dalam pikirkan, begitu banyak yang kupikirkan saat itu. Ada banyak hal yang kuajukan jawaban, untuk menanggapi kalimatnya. Dari banyak jawaban saya, rupanya tak satu pun yang benar menurutnya. Lalu, saya pun mengajukan pertanyaan balik, menurut bapak apa?

Entah sekolah atau tidak, toh yang dicari orang ialah perut kenyang. Mendengar jawaban itu, saya pun duduk terdiam. Terdiam karena, pola berpikir yang ada dipikiran saya, tidak sebanding dengan pola berpikir orang sederhana. 

Seorang yang sehari-hari bergelut dengan tanah dan air, hutan yang bebatuan, udara dan angin, panas terik dan dingin menusuk tubuh. Jalan kaki setiap hari pergi dan pulang dari kebun. Belum lagi ketika pulang kebun, kedua bahunya terlihat ada barang-barang yang dibawa untuk ternaknya. Boleh kita mengatakan ini buruh? Dapatkah ini kita sebut sebagai manusia yang sedang memaknai hidupnya dengan pekerjaan?

Buruh bekerja sepanjang jam. Ia memang dipekerjakan, jika boleh dikatakan demikian. Tetapi jauh dari itu, dia sebenarnya sedang berusaha sekuat tenaga memanusiakan manusia. Dia bekerja supaya dia hidup. Dia bekerja supaya anggota keluarganya, tetap hidup. Dia bekerja agar yang memperkerjakan dia pun dapat hidup dan usahanya bertahan. Maka satu pertanyaan yang mengusik saya ialah sejauhmana seluruh elemen masyarakat membantu mereka untuk hidup layak dan tenang?

Kedua, peristiwa yang dialami setiap saat yaitu bekerja. Bekerja adalah suatu aktivitas yang mengasah pikiran, mengola fisik, setulus hati berjuang karena yang dikerjakan demi banyak orang. Bekerja, bukan hanya didapat upah.

Upah memang dibutuhkan. Upah memang layak diterima. Upah memang kelihat karena hasilnya bekerja. Apakah kita tahu bahwa upah itu juga keburu habis? Justru yang harus kita perhatikan dan mungkin harus kita pertahankan dalam konsep berpikir kita adalah manusia yang bekerja itu sedang berziarah menuju penemuan jati dirinya. 

Melalui cara berpikir demikian, kerja dan buruh, tidak hanya semata-mata upah. Upah adalah efek suatu pekerjaan. Karena bekerja memerlukan tenaga, waktu, keselamatan, pengorbanan, kesetiaan, dan dedikasi yang tulus ikhlas.

Ketiga, hari ulang tahun anakku. Masuk tahun keenam, masuk ke sekolah dasar. Walaupun selama covid-19, sekolah dari rumah. Merayakan hari ulang tahun keenam, dalam benak saya ialah kerja keras para guru TK-nya. 

Bagaimana mereka berjuang, anak kecil itu bisa duduk tenang dan mendengarkan mereka. Anak kecil itu suka bermain, usil, dan masa bodoh, apalagi bukan orang dekatnya. 

Guru TK memang pekerja, tetapi pekerja yang benar-benar memanusiakan manusia. Anak yang masih kecil dapat mengenal huruf, anggka, dan bahkan bisa menulis dan mengeja huruf dan angka. 

Pekerja yang disebut pahlawan tanpa tanda jasa, memang benar. Ketika sukses yang diingat ialah orangtua dan guru-guru SD, SMP dan SMA. Ingatkah kita akan guru-guru TK? Mungkin selevel saya dulu belum ada TK atau PAUD. Namun, yang namanya bekerja, pasti orang akan berjuang. Orang akan mempertaruhkan banyak hal, walau mungkin yang didapat tidak seberapa. 

Bekerja, memang buruh. Bekerja, memang prakrasis. Walau demikian, seluruh diri dihadirkan saat bekerja. Karena ia tahu, bekerja adalah tanggungjawab untuk meretas nilai-nilai kemanusiaan. Karena bekerja yaitu menghadirkan potensi diri dan berjumpa dengan potensi-potensi lain, sehingga menghasilkan potensi-potensi baru yang dirasakan oleh banyak pihak.

Akhirnya, saya pun boleh berbangga hati, bahwa selama libur karena pandemi covid-19, pada tanggal 1 Mei, hari ini saya hadir di kebun sebagai pekerja, buruh serentak menghadirkan potensi diri untuk memaknai alam sebagai 'Rumah Bersama" yang saling berkorelasi satu sama lain. 

Kami saling memberikan manfaat sambil menegasikan bahwa bekerja itu bukan buruh, bukan juga karena upah, bukan juga karena emosional temperamen, namun jauh dari itu, bekerja ialah mengasah pikiran, merajut hati, menenun jiwa yang lara karena covid-19, serentak menghadirkan potensi diri untuk memaknai dunia sekitar, sebagai sahabat yang saling berbagi.Selamat bekerja keras. Sukses selalu untuk kita semua yang rajin bekerja dengan tekun dan ulet.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun