Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

La Peste Camus dan Corona Indonesia

17 April 2020   14:38 Diperbarui: 17 April 2020   14:40 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tentu saja cara pandang Camus tentang situasi sampar di Oran, membawa Camus terlihat sebagai seorang pribadi yang cemas, ragu, ketakutan dan pesimis.

Mungkin karena didorong oleh situasi kesendirian. Dalam kesendirian itu, dialog hanya dengan dirinya sendiri. Mungkin benar yang dikatakan oleh Karl R. Popper tentang perkembangan sebuah epistemologi kritis pada diri seseorang. Bahwa pengetahuan yang bersifat apriori lahir dari suatu bergulatan dengan diri sendiri (Alfons Taryadi: 1991, 24-26).

Dari kesendirian yang berpengetahuan karena refleksi kritis, ketika suatu realitas besar yang terjadi (wabah sampar), seakan-akan epistemologi kritis yang dibangunnya, runtuh total. Dialog dengan diri sendiri kalah atas realitas yang mewabah. Empirisisme kritis yang dilihat Camus yaitu wabah sampar jauh lebih kuat daripada epistemologi kritis dari dirinya sendiri.

Belajar dari pengalaman Camus lalu melihat situasi mewabahnya Corona di Indonesia, kita patut mengangkat jempol atas beberapa hal yang mungkin menjadi refleksi kritis kita bersama.

Pertama, suasana Oran berbeda sekali dengan suasana Indonesia. Oran baru selesai menjadi medan perang dunia kedua. Indonesia sekarang tidak. Tetapi lagi dalam perang ide-ide, perang persaingan pembangunan, perang perjuangan mendapat kehidupan yang layak dan lain-lain. Dalam perang begitu, wabah corona muncul.

Wabah corona menambah perang lagi.

Dalam dialektika perang itu, prioritas perang berujung pada perang melawan corona. Masyarakat Indonesia diminta oleh Negara untuk bersama-sama mengikuti peraturan melawan corona sebagai sebuah proses dalam perang bersama. Perang bersama itu kini dalam bentuk, mengikuti permintaan pemerintah seperti: social distancing, physical distancing, kerja dari rumah, belanja dari rumah, selalu mencuci tangan, menjemur di matahari pagi jam 10.00, dan lain-lain. Semua perang ini agar Corona kalah, dan situasi pulih serta kehidupan kita berjalan normal lagi.

Kedua, suasana psikologis yang dialami oleh penduduk Oran seperti yang dilukiskan Camus, mirip dengan situasi Indonesia juga. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak masyarakat kita yang ketakutan, cemas, kuatir, bingung, dan stress. Situasi ini membawa dua dampak akan kehidupan masyarakat. Takut, cemas, kuatir, bingung dan stress jika terkenal Corona. Terkenal Corona sama dengan tidak bisa melakukan aktivitas, penyembuhan memakan banyak waktu, diawasi, dan tidak bisa dikunjungi oleh keluarga. Sementara itu, keterbatasan para medis, sarana prasarana dan proses pemeriksaan yang lama.

Ketiga, beda dengan sampar di Oran yang hanya terjadi Oran. Sementara Corona mewabah secara global, seluruh dunia. Anehnya, Corona hampir empat bulan mewabah, ahli-ahli kesehatan dunia belum dapat menemukan antibodi. Ini juga mencemaskan dan menakutkan semua penduduk dunia tetapi sekaligus mendorong para ahli kesehatan bekerja keras untuk menemukan antibodi.

Keempat, hebatnya bahwa masyarakat Indonesia tidak jatuh dalam sikap absurditas seperti yang dialami oleh Camus. Karena penduduk Indonesia adalah masyarakat regiusitas yang tinggi maka keterlibatan secara tidak langsung dalam pencegahan Corona dengan berdoa dan beribadah baik secara pribadi maupun bersama keluarga di rumah. Menjalankan regiusitas inilah yang oleh para ateisme mengkritiknya sebagai sebuah kesia-siaan. Namun sebagai masyarakat beragama, yang dilindungi oleh Negara, menjalankan kewajiban sebagai orang religious adalah wajib bagi Negara. Inilah hal positif yang dialami masyarakat Indonesia.

Refleksi kritis atas pengalaman Camus dan situasi Indonesia yang diwabahi oleh Corona, semestinya dalam situasi ketakutan, kecemasan, kesendirian dan stress, batin religious kita harus terpancar yang mendorong internal diri untuk melakukan sesuatu yang berguna entah itu menjalankan ibadah, melakukan amal kasih, ataupun taat pada Negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun