Dialog dengan La Pesta Camus
La Peste, artinya penyakit sampar. La Peste juga adalah salah satu novel karya A. Camus. Tahun terbit novel ini 1947 setelah perang dunia kedua. Tetapi sebenarnya novel ini ditulis oleh Camus dalam situasi perang dunia kedua di Oran, Aljazair. Ketika Camus berada disana selama perang dunia kedua, sebagai anggota tentara sekutu, yang terpisah dengan anggota keluarganya di Prancis. Aljazair adalah Negara jajahan Prancis saat itu.
Dalam novel La Peste, Camus menulis demikian: "Kata sampar terdengar pertama kalinya. Karena berita ini, B. Rieux termangu di belakang jendela kamarnya. Orang akan mentolerir si pengarang untuk membenarkan ketidak-pastian dan kebenaran sang dokter, karena dalam arti tertentu, reaksinya adalah reaksi yang wajar dari sebagian besar penduduk. Wabah itu sebenarnya merupakan hal yang lumrah, tetapi sulit untuk dipercaya jika wabah itu menimpa kepala Anda sendiri" (M. Sastrapratedja: 1983, 15).
Cuplikan novel Camus ini kita boleh mengambil beberapa hikmah sebagai sebuah epitemologi kritis atas teks novel ini. Pertama, sampar adalah salah satu jenis penyakit menular. Sampar mewabah di Oran setelah perang usai. Mungkin sampar ini muncul akibat dari lucutan amunisi tentara yang terbawa angina yang dalam kondisi tertentu berinteraksi dengan unsur-unsur lain sehingga membentuk satu jenis penyakit menular ini.
Kedua, sampar ini menular kepada penduduk Oran termasuk kepada anak-anak yang belum mengenal penyakit ini. Mewabahnya penyakit ini sebagai sebuah realitas nyata, bukan realitas yang terrekayasa. Karena gambar Camus atas realitas nyata ini, Camus dipandang sebagai seorang eksistensialis, walau kemudian hari dinegasikan oleh banyak filsuf eksistensialis.
Ketiga, sampar membawa penduduk Oran dengan beragam reaksi. Ada reaksi negatif tetapi ada reaksi positif yang menjadi sebuah harapan baru. Reaksi negatif bahwa akibat mewabah sampar, banyak penduduk yang meninggal dunia termasuk anak-anak. Coba kita bayangkan, kematian akibat perang dunia ditimpal lagi dengan kematian akibat sampar. Mengerikan memang!
Reaksi positif yang diharapkan penduduk Oran ialah supaya para dokter dapat menemukan obat dan mampu mencegah kematian akibat sampar. Para dokter berusaha untuk pelayanan kesehatan disatu sisi, dan disisi yang lain pendiduk Oran secara pribadi dan keluarga, menjaga kesehatan dan mengambil jarak dalam perjumpaan.
Keempat, masih berkaitan erat dengan poin ketiga yaitu reaksi penduduk secara psikologis yaitu ketakutan, cemas, kebingungan, dan tidak mau keluar dari rumah, sulit berjumpa dengan orang lain, dan efek lebih lanjut, bisa jadi kematian karena kelaparan. Lukisan situasi psikologis penduduk Oran oleh Camus dalam novelnya ini, kemudian membawa Camus, yang disebut W. Kaufmann sebagai seorang yang absurd (M. Sastrapratedja, 1983, 18-19).
Absurditas Camus versus Realitas Corona Indonesia
Sampar yang tiba-tiba mewabah di Oran setelah usai perang dunia kedua, menambah traumatis penduduk setempat. Perang dunia kedua yang memporakporandakan sarana prasarana Oran, seakan penduduk didorong untuk merehabilitasi kotanya. Namun, rentetatan dari itu, penduduk Oran yang menjadi subyek pembangun sarana prasarana itu dihantam lagi oleh sampar. Kota jadi sepi. Kota jadi ketiadaan sarana prasarana. Chaos Inilah yang menambah keparahan suasana hati Camus.
Camus terbelenggu dalam situasi chaos disatu pihak namun dipihak lain, realitas nyata sungguh-sungguh dialaminya. Walau Camus sebagai seorang eksistensialis (biarpun saya sendiri ragu karena eksistensialis karena situasional), Camus sendiri jatuh dalam cara berpikir Nietzsche bahwa melihat sistuasi seperti itu, Allah sudah mati seperti pernah dikatakan Nietzsche diakuinya di kota Oran. Konsep inilah yang memasukan Camus dalam aliran absurditas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!