filsafat. Satu karyanya yang terkenal adalah “Defense of Common Sense” yang diterbitkan pada tahun 1925. Melalui karya ini, Moore mencerahkan apa yang dikenal sekarang sebagai “filsafat bahasa biasa”; dimana pada zaman itu aliran filsafat ini cukup menguasai Inggris.
Moore nama lengkapnya George Edward Moore. Ia seorang filsuf yang berkebangsaan Inggris, lahir di London pada tahun 1873. Ia menekuni pekerjaannya sebagai seorang professor yang tenang di Cambridge dan meninggal pada tahun 1958. Ia banyak menulis karya-karyaKata “baik” adalah sebuah kata yang sehari-hari kita rasakan, kita dengar, kita lakukan. Tetapi apakah kita sungguh memahami kata “baik” dengan sungguh amat baik? Inilah pernyataan Moore yang cukup mendasar bagi kita. Jika kata “baik” itu dipahami sebagai kata sifat, maka kita akan jatuh pada kekeliruan fanatik untuk menjatuhkan palu kepada seseorang yang kita rasakan, yang kita dengarkan tentang kata “baik”itu. Padahal menurut Moore bahwa kata “baik” belum pernah dipahami utuh baik secara definisi maupun secara moral etika. Maka yang dipikirkan Moore dalam konteks moral etis ialah bahwa kata “baik” harus didefinisikan terlebih dulu. Baru setelah itu, kita dapat memahami seberapa jauh definisi kata “baik” itu diterapkan dalam moral etika sehari-hari.
Kata “baik”menurut Moore merupakan sebuah kata yang sangat penting dalam “Principia Ethica” atau “Prinsip Etika”. Bahwa dalam prinsip etika secara umum orang selalu menilai atau merasakan kata “baik” langsung tertuju kepada siapa yang melakukan atau siapa yang membuatnya, bukan lagi “baik” yang dipersoalkan tetapi “siapa” yang dipermasalahkan. Padahal, kata “baik” dalam pemikiran Moore adalah kata yang pokok atau primer. Maksud pokok atau primer disini ialah dasar dimana kata “baik” itu tidak berdiri diatas bagian-bagian tertentu. Konsekuensi atas hal ini, hemat saya pribadi-pribadi yang menjadi obyek penilaian, akan menampilkan moral etis yang keliru, dan bisa menjadi rancu dalam pemahaman “baik” untuk lebih lanjut. Atau bisa saja, ke depan pribadi-pribadi itu akan mengalami pembullyan dari orang-orang tertentu, walaupun niat dan tujua dia baik.
Karena kata “baik” itu oleh Moore sebagai kata primer, maka ia pun tidak memberikan definisi atas kata “baik” itu sendiri. Mengapa Moore tidak mendefinisikan kata “baik” itu? Hematnya, kata “baik” itu tidak terdiri dari bagian-bagian dank arena itu “baik” itu sendiri tidak dapat dianalisa lebih jauh lagi. Bahkan tidak dapat direduksikan kepada sesuatu yang lebih mendasar lagi. Karena itu kata “baik” adalah dasar, darinya tidak ada bagian-bagian lagi. “Baik” ya baik!, hanya intuitif saja. Itu saja. Lanjut Moore, jika ada yang mendefinisikan kata “baik” paling santer ia mengikuti kata “baik”dalam sebuah kamus. Padahal dalam kamus itu, rata-rata ditulis berupa kata sifat, benda, atau lainnya. Ini tidak mendefisikan kata “baik”. Kalau dipaksakan untuk mendefinisikan maka akan sangat jelas jatuh pada suatu konsep yang disebut Moore, kekeliruan naturalistik.
Dari pemikiran Moore tentang kata “baik” dalam prinsip etika, yang melahirkan aliran filsafat bahasa biasa atau bahasa sehari-hari, kita perlu menggarisbawahi beberapa hal yang mendasar.
Pertama, kritiknya tentang pemahaman sebuah kata baik itu kata-kata yang sering kita pakai sehari-hari maupun sebuah kata yang asing, harusnya kita sungguh berusaha untuk mengerti, merasakan dan menyikapi makna sebuah kata itu dengan benar dan baik.
Kedua, kritiknya tentang pemahaman makna sebuah kata yang mungkin kita gunakan sehari-hari, semestinya harus kita cari dulu asal usul maksud sebuah kata itu. Jika kita tidak tahu dan hanya mengikuti saja, maka kita akan jatuh dalam apa yang disebut Moore sebagai kekeliruan naturalistik.
Ketiga, kritikan Moore seputar filsafat bahasa biasa, akan mengajak kita untuk bertutur kata dengan baik dan benar, jika kita pahami kata-kata yang akan kita pakai dalam berbahasa. Sehingga kita tidak memakai kata-kata yang asal bunyi atau asal omong doank.
Keempat, kritikan Moore dalam penggunaan sebuah kata yang benar, akan melahirkan cara kita beretika dalam hidup sehari-hari. Dalam konteks ini, berbahasa tidak hanya menglafalkan kata-kata itu supaya kedengaran kren. Tidak! Berbahasa itu, boleh kita katakan sebagai cerminan dari kedalaman hati dan niat seseorang.
Kelima, pada akhirnya, kritikan Moore menyadarkan kita sebagai manusia yang mampu berbahasa, yang membedakan makhluk hidup lainnya. Dalam berbahasa, seseorang mampu mengenal siapa dirinya dan bahkan bagaimana moral etis yang dibangunnya selama ini.
Selamat berrefleksi, semoga menjadi satu bangsa yang mampu berbahasa yang baik dan benar. Dengan demikian, moral etis pun dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H