Secara sepadan perlu diketahui, baik bergerak bersama Tuhan dan tanpa Tuhan, manusia tetap akan berpadanan pada suatu keumuman yang tak dapat ditolak, yakni prinsip etetis itu sendiri. Panggilan kehendak untuk menjadi agen perubahan bagi dunia sebagaimana lahir dari individualitas, tak terluput pula kedewasaan iman dengan merengkuh tiap-tiap fenomena sebagai penguatan karakter beragama yang sehat, semua hal tersebut tak bisa terluput bahwa terdapat ajakan dari interior diri ini, agar menjadi berarti pada masing-masing peranan di dunia dewasa ini. Dari mana hal tersebut datang, tentu hal itu hanya misteri bagi kita. Dia yang tanpa Tuhan bisa berbahasa dan berbudi luhur melalui norma kemanusiaan melebihi orang beriman, juga yang beriman dengan kekayaan spiritualnya mampu memberi diri secara sukarela dihadapan sesama sebagai pengaplikasian imannya, adalah jembatan keajaiban sebagaimana datang dari jiwa estetis atas pemaknaan diri itu sendiri. Mungkinkah kita terlahir dari jiwa yang sama? Ataukah kita terlahir dari rupa pencipta yang sama pula?
Panggilan menuju beradab
Terlepas dari perdebatan entah melalui jiwa yang sama atau pencipta yang sama, atau apa asas kepentingannya baik itu secara individual atau menyenangkan Tuhan, namun satu hal yang perlu kita ketahui, bahwa manusia tahu dan punya implementasi kebaikan sebagaimana layak untuk dihayati. Di kala kita menganggap bantuan orang lain adalah sebuah hal yang fana, setiap manusia akan terperangkap bahwa keajaiban tak pernah bisa datang dari orang lain.
Hidup itu lebih dari soal ilmiah. Kenapa saya ada? Tahu semua bernasib naas kematian, mengapa masih dengan gembira menjalani hidup? Hidupku yang hanya sepersekian miliar dari gerak tahun cahaya, apakah masih punya arti? Atau berartikah saya di balik kemahaan multi alam semesta ini? Ataukah saya hanyalah bayangan terbangan pasir di horison kemahaan alam ini?
Aku yang memilih percaya pada iman, walau merupakan dasar kebermaknaan hidup ini di tengah kemahatakmengertian, tetap mengajarkanku untuk menghargai tiap-tiap pemberian dari tangan manusia yang secara ajaib terpanggil secara utuh melahirkan kebaikannya secara otentik. Sebab padanya kurangkumkan kesemestaan harianku yang kompleks namun tak berarti di tengah kesemestaan yang mahaluas ini dalam syukur dan permohonan. Padanya dan melalui manusia-manusia ajaib yang dengan simpatinya, kuberharap bahwa aku sang titik pasir ini, masih boleh memiliki arti.Untuk itulah Imanku adalah menjumpaiNya yang mencengangkanku di sejarah hidupku di alam maha luas ini. Imanku bukan janji setia, kartu identitas dan seragam. Imanku adalah doaku. Doaku adalah iman yang hidup dan dinamis serta keterbukaan untuk menghargai pemberian diri dari orang-orang sekitarku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H