Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sejenak Berdiskusi tentang Moralitas

20 Mei 2020   08:54 Diperbarui: 20 Mei 2020   09:40 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejenak membaca kata moralitas pada judul diatas apakah yang terpatri pada bingkai pikiran kita? Tentunya tentang perilaku baik, kenyamanan di dalam bertindak, ketepatan dalam memilih keputusan, kehendak bebas, kewajiban dan hak, serta masih banyak lagi. 

Pada dasarnya moralitas atau biasa disebut moral[1] dikenakan secara umum untuk kesadaran, pertimbangan, keputusan, sikap dan tindakan, yang dikategorikan baik dan buruk di mana harus dilakukan atau dihindari, dengan keperluan yang mendesak. Pengamatan tentang moral sudah sejak lama diperhatikan oleh para filsuf. 

Sebut saja kaum sofis[2] di zaman Yunani Kuno sudah mempersoalkan, apakah moral itu sekadar kebiasaan-kebiasaan yang diciptakan manusia sendiri yang berubah-ubah (nomos) ataukah sesuatu yang terkait dengan kodrat manusia yang tetap sama[3], semacam amanat di mana diterima sejak  lahirnya untuk dijalankan dan menjadi ciri khasnya untuk membedakan dari makhluk lain?  

 Para sofis pada umumnya menerima pendapat yang pertama. Dan boleh dikata mengawali ajaran relativisme[4] sebagaimana baru akan dikenal sebagai relativisme kultural pada era modern ini di mana dapat diartikan bahwa moral sebagai konvensi budaya yang tidak saja berubah-ubah, melainkan juga berbeda-beda. 

Walau demikian para etikus yang melanjutkan keyakinan Socrates mempunyai pandangan bahwa moral merupakan sebuah kesadaran objektif dan panggah, lalu manakah pandangan moral yang dapat dijadikan pedoman normatif?

 Persoalan moral dalam telaah filsafat pada umumnya bisa dibagi ke dalam 3 wilayah. Pertama, filsafat yang mempersoalkan moral sebagai gejala atau fenomena yang muncul dalam kesadaran diri manusia dalam bahasa Indonesia sering disebut suara hati atau hati nurani. 

Gejala ini mendapat ranahnya pada hal berkisar tanggung jawab, kewajiban kebebasan dan ukuran kedewasaan untuk mempertimbangkan suatu keputusan. 

Kedua filsafat yang mempersoalkan moral dalam kerangka nilai-nilai baku, yang diacu sebagai pedoman perilaku dan tindakan manusia yang menjadi ukuran untuk menentukan nilai baik atau buruknya suatu tindakan. 

Pada wilayah ini dibicarakanlah tentang norma, nilai, aliran-aliran atau mazhab-mazhab etika. Ketiga, merupakan kajian filsafat yang membahas tentang makna atau peristilahan-peristilahan di mana dipakai dalam moral itu sendiri di mana apakah yang dimaksud dengan baik, wajib, utama dan sebagainya.

 Menggugat etika normatif

 Untuk waktu yang cukup lama perbedaan pandangan mengenai nilai-nilai dasar moral yang bisa diandalkan sebagai norma perilaku manusia ini, pada akhirnya menimbulkan beberapa macam paradigma. 

Masa kejayaan agama Kristen di Abad Pertengahan, terlebih khusus teori perintah Allah di mana cukup lazim dianut mengemukakan dengan jelas bahwa tindakan manusia haruslah mengikuti apa yang menjadi kehendak atau diperintahkan oleh Allah. Itulah standar kebaikan yang menjadi acuan hidup manusia. 

Dalam kerangka pemikiran ini, mudah juga dipahami bahwa orang akan menerima ajaran yang mengatakan bahwa kesadaran moral atau suara hati dapat disamakan dengan suara Allah yang berbisik dalam hati manusia.[5] 

 Dengan demikian, secara teoritis paham perintah Allah mengakui objektifitas moral. Objektifitas moral yang dimaksud adalah wahyu yang diberikan oleh Allah sendiri dalam wujud Kitab Suci yang sudah dibakukan. 

Maka norma moral pun harus merujuk pada apa yang tertulis dalam Kitab Suci maupun perluasan aplikasinya, yakni tradisi yang diajarkan dan sudah dijalankan oleh leluhur mereka. Sehingga perintah Allah pun sering diyakini sudah tersimpan dalam hati manusia sehingga akalnya seseorang telah mengetahui mana yang baik di mana sesuai dengan perintah Allah itu sendiri.

 Akan tetapi telaah sejarah dan dewasa ini memperlihatkan unsur alasan yang belum memuaskan. Pasalnya dari kitab suci yang sama pun para pemuka agama dapat memberi tafsiran yang berbeda sedemikian sehingga menyulitkan paham dasar mengenai rujukan yang satu dan benar. Skisma atau perpecahan agama Kristen yang terjadi di Eropa beberapa abad silam memperlihatkan kenyataan itu. 

Di dalam persepektif moral yang lebih luas pula kesulitan ini nampak ketika kita mengakui ada begitu banyak agama-agama yang berbeda dengan masing-masing Kitab Suci yang berbeda pula, di mana masing-masing pula mengaku ajarannya sebagai yang benar. 

Tentu saja teori perintah Allah dapat dibahasakan menjadi perintah Dharma ataupun otoritas transenden lainnya sesuai dengan keyakinan agama yang berbeda-beda, namun persoalannya tetap bagaimana memahami objektivitas kebenaran moral sebagai yang satu dan sama dari ajaran-ajaran yang berbeda itu, sehingga dapat diterapkan oleh semua orang? 

Oleh karena claim akan kebenaran moral dari masing-masing agama memberi kesan bahwa untuk menjadi manusia bermoral, orang harus terlebih dahulu memeluk agama. 

Hal semacam inilah yang dipertanyakan oleh Socrates dalam (Euthyphro 9d) 'Apakah yang disukai Tuhan karena saleh, ataukah menjadi saleh karena disukai Tuhan?' 

 Kecenderungan moral di mata manusia

 Pada zaman modern, tendensi filsafat pun beralih ke antopofisme. Persoalan moral pun bergeser karena otoritas moral kini diarahkan kepada manusia yang berkepentingan. Salah satu tokoh besarnya ialah Immanuel Kant (1724-1804). 

Bagi Immanuel Kant, manusia sebagai makhluk rasional bertanggungjawab atas hidupnya sendiri dan dalam konteks inilah moral memiliki arti yang sangat menentukan. Moralitas merupakan kekhususan dari makhluk rasional, sebab berkati rasionya manusia menjadi makhluk yang bermartabat, artinya ia menjadi tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah boleh dijadikan sarana untuk tujuan lain. 

Maka dasar dari kewajiban bukanlah kodrat ataupun ketaatan pada Allah, melainkan pada hukum moral yang dapat dikatakan menjadi habitat dari makhluk-makhluk rasional. Sehingga dengan begitu Allah hanya menjadi jaminan psikologis untuk kelangsungan moral manusia. [6]

Melalui paham Immanuel Kant, otoritas manusia sungguh dihargai dalam menentukan kualitas dirinya. Seseorang yang mampu menjalankan moral adalah orang yang otonom, yang bertindak atas pertanggungjawaban dirinya sendiri. Ia tidak melemparkan tanggung jawabnya pada oknum orang lain yang memberi perintah di luar dirinya. 

Lalu apakah yang ditawarkan oleh Immanuel Kant sesungguhnya? Yakni hukum moral dalam hati, di mana merupakan konsep penting Immanuel Kant, sebab menandai kekhususan manusia dibandingkan makhluk-makhluk lain. 

Itulah sebabnya suara hati bagi Kant merupakan pusat kedudukan martabat manusia. Sehinngga bagi Kant manusia mesti mendengarkan suara hatinya sendiri bukan suara Tuhan yang berbisik dari atas, melainkan suara yang muncul dari kesadaran diri sendiri, yang dibimbing oleh cahaya rasio praktis, untuk menentukan tindakan mana yang baik dan harus dilakukan. 

Oleh karena iu terlebih dahulu rasio haruslah bersifat universal agar apa yang menjadi keputusan di dalam rasio tersebut bertindak pula dalam pendasaran pertimbangan rasio sesuai keputusuan semua orang lain di mana dalam kasus yang sama bertindak pula atas dasar rasio.

Bingkai moral dalam postmodernisme

Dalam era postmodernisme[7], isu moral bergeser lagi. Tepat ketika dapat nama Emmanuel Levinas memperkenalkan teori tentang 'yang lain.' Levinas memperlihatkan bahwa norma moral tidak pernah ditentukan oleh diri sendiri. 

Seluruh perkembangan etika klasik hingga modern memperlihatkan bahwa nilai-nilai moral pada akhirnya berpusat pada aku, pada diri sendiri. Meskipun perintah kewajiban berasal dari Allah atau kodrat alamiah, namun cita-cita dan tujuan kebaikan itu pada akhirnya mengarah pada diriku, martabatku, entah sebagai makhluk istimewa, imago Dei, kodrat yang baik ataupun pribadi yang otonom sebagaimana dipaparkan oleh Immanuel Kant. 

Bagi Levinas 'Yang lain' bukanlah pihak seperti engkau, untuk diajak berinding membuat perjanjian, kompromi atau percintaan sekalipun, yang bisa mengembalikan imbalan pada apa yang telah diberikan atau diuntut untuk mendapat balasan, justu 'Yang lain' adalah sesama bukan yang asing melainkan tetangga sesaa ita manusia. 

Maka seringkali filsafat Levinas disejajarkan dan diperbandingka dengan filsafat Gebriel Marcel dan Martin buber yang melihat konsep Levinas di dalam relasi yang seimbang dan tidak terputus Aku-Engkau.

 Levinas sering menggunakan simbol-simbol yang sangat dramatis yakni seperti anak yatim, orang papa yang memanggil atau mengundang belas kasihku. Dengan demikian urgensi moral bukanlah tuntutan yang menakutkan, melainkan panggilan halus mengetuk hati agar berempati terhadap sesama. 

Jadi menurutnya bahwa panggilan moral tidak pernah memaksaku dengan ancaman pukulan tangan yang mengepal melainkan dengan belaian tangan terbuka sembari mengikuti panggilan 'yang lain' untuk menolongnya di dalam kebebasan. 

Oleh karena itu pulalah paham Levinas sangat sulit sekali melihat moral sebagai tuntutan seperti dikembangkan dalam hak assasi dan keadilan yang kuat. 

Walau demikian, moral posmodernisme sebagaimana dipaparkan oleh Levinas tidak menyamakan moral sekadar sebagai perasaan subjektif sebagaimana dikembangkan oleh emotivisme (perasaan) belaka, sebab sesunguhnya postmodernisme mengajak moral keluar dari dirinya sendiri.

Daftar Pustaka 

[1]Istilah moral itu sendiri berasal dari bahasa Latin mos yang berarti adat kebiasaan, di mana menurut Thomas Aquinas, keutamaan moral juga mengandung nuansa kodrati yakni mengikuti kecenderungan kodrat.

[2]Sofis (sophistes) arti aslinya pengajar kebijaksanaan, yang berkeliling dan ahli dalam berbicara, dan punya pengaruh besar dalam masyarakat Yunani kisaran 400 SM.  

[3]Bdk. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogjakarta: Kanisius 1975 hlm. 69.

[4]Relativisme pada umumnya dikaitkan dengan kebudayaan, yang berpandangan bahwa moralitas yang mengatur masyarakat merupakan ungkapan-ungkapan nilai-nilai local yang berbeda diantara satu daerah dengan yang lain.

[5]Katekismus Gereja Katolik pasal 1790 Manusia selalu harus mengikuti keputusan yang pasti dari hati nuraninya. Kalau ia dengan sengaja bertindak melawannya, ia menghukum dirinya sendiri. Tetapi dapat juga terjadi bahwa karena ketidaktahuan, hati nurani membuat keputusan yang keliru mengenai tindakan yang orang rencanakan atau sudah lakukan

[6]K. Bertens, Etika. Hlm 38

[7]Postmodernisme adalah paham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya. Postmodernisme bukanlah paham tunggal atau sebuah teori, tetapi justru memayungi berbagai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun