Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pemahaman Johanes Scotus terhadap Thomas Aquinas tentang Kehendak

1 Mei 2020   20:43 Diperbarui: 1 Mei 2020   20:49 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akal budi menjadi salah satu tema yang terungkap dalam diskusi Jürgen Habermas dan Joseph Ratzinger pada tanggal 28 Januari 2004, yang diadakan oleh Institut “Katolische Akademie” Bayern di München. Dalam pandangannya mengenai diskursus rasio dan wahyu, Habermas mengungkapkan bahwa “akal budi yang merefleksikan basis terdalamnya menemukan dasarnya pada sesuatu yang lain, yang kekuasaannya harus diakui, apabila dia tidak hendak kehilangan orientasi rasionalnya pada jalan buntu pengangkatan diri (Selbstemächtigung) yang angkuh”[1] Pada sisi lain Habermas juga menyatakan bahwa yang menguat dalam masyarakat zaman ini adalah kecenderungan privatisme warga negara melalui hilangnya peran bersama warga dalam pembentukan pendapat dan kehendak bersama secara demokratis dalam menggapai keputusan yang mana dapat dialihkan pada tingkat supranasional. 

Di sisi lain pada Joseph Ratzinger kita menemukan bahwa akal budi pun mengalami patologi, semacam keangkuhan akal budi, yang tidak mendengarkan peringatan-peringatan yang datang dari luar, terutama tradisi-tradisi keagamaan.[2] Ratzinger mengungkapkan bahwa patologi akal budi nampak dalam kenyataan bahwa penyempitan jangkauan pengetahuan mengakibatkan religi dan etos tidak lagi menjadi bagiannya. Bagi Ratzinger, akal budi harus berusaha meluaskan pengertiannya tentang kegunaan serta jangkauan pengetahuannya.[3] 

Kendati demikian kedua tokoh ini berbeda menyangkut solusi yang diberikan dalam upaya menghentikan kemerosotan akal budi. Ratzinger merujuk kembali pada sintesis iman dan akal budi yang dibangun oleh Bapa-Bapa Gereja sebagai upaya pemecahan masalah, sedangkan menurut Habermas, kita tidak mungkin lagi kembali pada periode itu. Yang dapat dilakukan sekarang adalah melalui pemikiran postmetafisik. Postmetafisik yang dimaksudkan oleh Habermas dapat dimulai dengan proses belajar, yang mana akal budi modern perlu menelusuri kembali asal usulnya sendiri.

Jauh sebelum dialog Joseph Ratzinger dan Habermas tentu telah ada perdebatan lainnya terkait akal budi. Hal tersebut termaktub dalam catatan era skolastik, mazhab pemikiran abad pertengahan sebagaimana telah dijadikan rujukan Habermas. Tepat ketika intelek dan kehendak bebas diperdebatkan oleh Johanes Duns Scotus dan Thomas Aquinas. Hanya pada apakah kedua akun tersebut saling mempertajam ide satu sama lain? Tentunya tulisan ini akan meringkaskan sedikit terkait perdebatan tersebut dan akan melihat akun kebebasan dari Johanes Duns Scotus terkait komntarnya terhadap keyakinan akal budi dari paham Thomas Aquinas.

Intelek dan kehendak menurut Aquinas

Secara umum ntelek berasal dari bahasa Latin intelligere (kata kerja infinitif), dari kata intus yang berarti ke dalam dan legere yang berarti membaca, memilih, mencerap (to have intellective cognition, membaca dari dalam). Intelek merupakan kemampuan intelektual dari ada yang berasional. Penyebutan intelek hanya merujuk pada satu referensi eksplisit yakni kemampuan intelektual dari ada yang berasional. Menurut St. Thomas Aquinas intelek merupakan kesanggupan dari jiwa rasional manusia dan bukan esensi dari jiwa. Untuk memperjelas pernyataan ini dapat dibandingkan dengan Allah sebagai intelek murni.

Sedangkan bagi Aquinas kekhasan dan keunggulan kehendak terletak dalam kemampuannya untuk mengarahkan jiwa manusia kepada nilai esential dan eksistensial barang-barang itu sendiri. Menghendaki sesuatu berarti manusia mengarahkan seluruh dirinya pada pencapaian nilai intrinsik dan ideal dalam barang itu sendiri. Dengan kehendaknya manusia seakan keluar dari diri sendiri, terarah kepada pengejaran dan pencapaian kebaikan yang terkandung dalam objek itu. Dengan kehendaknya manusia dimungkinkan memiliki dalam dirinya keagungan nilai objektif barang-barang dalam kekonkritannya.[4] Dengan kata lain bahwa operasi intelek dan kehendak terkait dalam berbagai cara. Sebagai contoh, saya tidak dapat secara sadar akan melakukan tindakan kecuali saya memiliki gagasan tentang apa yang ingin saya capai atau dapatkan. Sehingga, jika intelek menghadirkan objek sebagai kondusif bagi kebahagiaan, secara otomatis akan menggerakkan proses tubuh yang relevan untuk memungkinkan seseorang mencapai kebaikan yang disajikan kepada kehendak. 

Intelek dapat dibandingkan dengan kehendak atas 3 cara: Pertama, secara umum dan absolut: perbandingan ini dibuat tanpa acuan apapun pada barang partikular ini atau itu. Dengan perbandingan umum dan absolut ini, intelek dikatakan lebih cemerlang dari kehendak, sejauh ia mampu menangkap inti esensiil dari barang-barang, sementara kehendak hanya mengorientasikan manusia pada barang-barang tanpa memiliki kebaikannya secara aktual. Kedua, mengenai barang-barang materiil yang dapat diindrai, intelek pun lebih unggul. Contohnya, mengenal sebuah batu jauh lebih mulia daripada menghendakinya, sejauh forma dari batu itu secara aktual sudah dicapai dan dimiliki intelek dan bukan sekedar tinggal dalam dirinya sebagai sesuatu yang diinginkan. Ketiga, menyangkut Yang Ilahi yakni segala sesuatu yang mengatasi kemampuan kodrati budi manusia, kehendak jelas jauh lebih unggul dibandingkan dengan intelek, karena menginginkan Allah dan mencintaiNya jauh lebih utama daripada hanya sekedar mengenal Dia secara rational dan teoretis. Karena Allah memiliki dalam DiriNya kesempurnaan Kebaikan sehingga Dia lebih pantas dikehendaki dan dicintai daripada hanya sekedar dikenal lewat idea kebaikan yang dapat diintuisi oleh intelek.

Komentar Scotus terhadap Aquinas

Johanes Duns Scotus, bagaimanapun, sangat menolak hampir setiap fitur akun ini. Tampaknya bagi saya ada dua motivasi yang berbeda tetapi terkait untuk perbedaan pendapat Scotus. Yang pertama adalah bahwa pandangan Aquinas tidak cukup adil untuk kebebasan manusia. Yang kedua bahwa itu tidak memperhitungkan sifat kekuatan alami. Penting untuk diingat bahwa akun Aquinas memungkinkan terjadinya kontingensi[5] dalam tindakan manusia. Dia percaya bahwa, dalam keadaan tertentu, pertimbangan intelek bergantung, sehingga tidak ada yang bisa memprediksi sebelumnya bagaimana mereka akan berubah. Scotus tidak menerima bahwa operasi intelek bisa seperti ini. Sebab Scotus menyatakan bahwa 

Intelek berada di bawah tajuk "alam," karena ia dengan sendirinya ditentukan untuk memahami dan ia tidak memilikinya dalam kekuatannya untuk memahami dan tidak memahami; atau berkenaan dengan pengetahuan proposisional di mana tindakan-tindakan sebaliknya dimungkinkan, ia tidak memiliki kekuatan untuk menyetujui dan tidak setuju. Pada pandangan Scotus, maka, catatan Aquinas tentang locus kontingensi dalam tindakan-tindakan manusia sama sekali salah.[6]

 Sehingga dengan kata lain Scotus memiliki tiga aspek dalam penentuan kehendak manusia di dalam locus kontigensi bahwa pertama, di dalam waktu yang sama terdapat 2 atau bahkan 3 pilihan dalam menentukan sikap, kedua bahwa manusia akan melakukan sikap a dan bukan a, ketiga bahwa manusia akan tidak memilih keduanya atau bahkan menindaklanjuti diantara keduanya.[7] Dengan kata lain ini pula mengindikasikan terkait kehendak harus bebas, karena jika itu hanya kekuatan alami, ia akan bertindak setiap kali tidak ada hambatan alami untuk aktivitasnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun