Siapapun yang pernah singgah ke Papua, entah itu Jayapura, Wamena, Intan Jaya, dan masih banyak lagi. Pastinya mengenal bahwa orang asli Papua (OAP) sangat dominan terkenal dengan makan pinang. Bagi kebanyakan masyarakat asli Papua pinang, sirih, dan kapur merupakan komponen untuk berelasi secara lebih mendalam, mengenal arti semangat yang sesungguhnya hendak dibangun dalam diri tiap-tiap insan di bumi Cenderawasih. Baik di pasar, trotoar jalan, dan juga tempat-tempat public lainnya akan ramai dengan mama-mama Papua yang menjajakan pinang, sirih dan kapur diatas satu meja dan di situ pulalah insan-insan Papua memaparkan banyak ide untuk membangun kehidupan bersama, melalui diskusi sambil memakan pinang.
Pada awalnya mengunyah pinang identik dengan kehidupan para orang tua. Namun, belakangan ini pinang justru menjadi populer di kalangan anak muda di Papua. Tidak jarang para wisawatan penasaran untuk mencicipi buah pengganti rokok tersebut. Tradisi mengunyah pinang di Papua ini sudah menjadi turun temurun sejak berabad-abad yang lalu. Tidak hanya untuk menjaga kesehatan gusi dan gigi tetapi pinang dan sirih merupakan lambang keakraban dan persaudaraan bagi masyarakat Papua.
Papua dan pinang
Sesungguhnya bila siapapun yang pernah tinggal lama di daerah Papua, pasti akan mengenal bahwa sembari makan pinang orang asli Papua akan banyak membahas tentang pergumulan tiap-tiap sendi kehidupan mereka, disitulah kita akan mengenal bahwa manusia Papua amatlah cerdas dalam merumuskan beberapa pendapat cemerlang demi menuntaskan pergumulan hidup yang dialaminya.
Paradigma pinang dan diskusi sosial di dalamnya memuat beberapa catatan simbolis bagi tiap-tiap kita untuk memahami Papua, pertama untuk masuk ke dalam hidup orang asli Papua perlulah masuk melalui budaya orang Papua sendiri.
Mengapa? Karena budaya menjadi sebuah motif untuk memahami karakter tiap-tiap manusia Papua.
Juga tak kalah penting lagi, bahwa Papua yang erat kaitannya dengan hitam kulit keriting rambut, tidak serta merta juga menjadi kesamaan tersendiri, sebab masih begitu banyak budaya dan asal-asal suku yang beranekaragam, di mana memang mempunyai coraknya sendiri di samping persamaan hanya dari kulit hitam dan keriting rambut. Sehingga dengan kata lain, pinang sebagai kebiasaan hendaklah dialami dan dipikirkan sebagai simbolisme budaya untuk memahami lebih dalam tentang pikiran orang Papua.
Kedua, pinang memberi intimitas dan kontak sosial yang lebih hangat. Alasannya, karena dari pinang dan saling berbagi sirih serta kapur memperat nuansa berbagi diantara insan Papua, termasuk masyarakat pendatang. Di mana paradigma bahwa manusia Papua merupakan manusia yang toleran di dalam kesederhanaan. Mampu berbagi buah pinang yang di tanam di halaman rumah kepada tetangga sebagai tanda bahwa hasil dari kekayaan alam Papua itu merupakan hak bagi siapapun insan Papua.
Oleh karena kontak sosial di dalam berbagi itu pulalah dengan serta merta manusia Papua akan bereksistensi dengan begitu tulus tanpa harus disuapi oleh janji apapun. Sebab pinang dan momen berbagi terhadap satu sama lain merupakan pemberian diri yang penuh tanpa perlu harus memahami teori moralitas berbagai persepektif manapun. Sehingga bagi insan Papua berbagi kepada sesamanya dari hasil yang dimiliki sudah merupakan tindakan terpuji dan amat mulia dari panggilan hidupnya.
Ketiga, ketika sudah mendekatkan diri dan terikat secara intens di situlah kita akan diantar bahwa insan-insan Papua memiliki kiat dan niat sukses di dalam seluruh alur diskusinya tentang sendi-sendi hidup.
Di dalam diskusi tersebut akan terasa kiblat paradigma tentang Papua sesungguhnya bukanlah manusia yang sulit diatur, bukan pula manusia tanpa pendidikan, tetapi justru logika orang Papua lebih terarah dan amat konsisten. Sebab di dalam diskusi sembari memakan pinang, akan diperlihatkan bahwa insan-insan Papua orang berpendirian, jika memutuskan A tak akan pernah mau untuk diganggu gugat oleh keputusan si B atau si C karena apa?