Mohon tunggu...
Alfian Putra Abdi
Alfian Putra Abdi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Premature journalist. Amateur photographer. a Man behind @LK_Webzine.

Selanjutnya

Tutup

Money

ASEAN Economic Community: Peluang atau Perang ?

1 Juni 2015   02:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14330990281682917744

[caption id="attachment_421627" align="aligncenter" width="300" caption="foto diambil dari Google"][/caption]

Sudah memasuki bulan ke 6 di tahun 2015. Di tengah berbagai pemberitaan soal pangan sintetis yang mengkhawatirkan dan sederet konflik agraria yang belum terselesaikan. Ada hal yang luput lagi dari masyarakat Indonesia kini, yakni ASEAN Community dan bagaimana progresivitas Indonesia dalam menghadapinya ?

ASEAN Community adalah komunitas yang terdiri dari 10 negara yang tergabung dalam ASEAN antara lain Indonesia, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Philipina, Laos, Kamboja, dan Vietnam.

Pembentukan ASEAN Community didasari komitmen para pemimpin ASEAN yang mencita-citakan ASEAN sebagai suatu komunitas yang berpandangan maju, hidup dalam lingkungan yang damai, stabil dan makmur, serta dipersatukan oleh hubungan kemitraan. Selain itu, adanya ASEAN Community diharapkan mampuh mempererat integrasi antara negara ASEAN dalam menghadapi perkembangan konstelasi politik internasional.

Ada tiga pilar khusus yang menjadi pondasi utama dalam ASEAN Community ini, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community/ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community/ASCC). Dari ketiga pilar tersebut, Indonesia saat ini mengedepankan pembangunan ASEAN Economy Community (AEC).

Tujuan AEC tercermin dari empat poin: (1) ASEAN sebagai aliran bebas barang, bebas jasa, bebas investasi, bebas tenaga kerja terdidik, dan bebas modal (single market and production base); (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing tinggi (a highly competitive economic region); (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil menengah (a region of equitable economic development); dan (4) ASEAN sebagai kawasan terintegrasi (a region fully integrated in to the global economy). Dengan harapan mampuh menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, berdaya saing tinggi, dan secara ekonomi terintegrasi dengan regulasi efektif untuk perdagangan dan investasi.

Itu artinya 9 negara anggota ASEAN akan dengan mudah serta bebas tanpa tarif (cukai) dan non-tarif menyerbu Indonesia dengan barang, jasa, investasi, modal, dan juga para pekerja terampil. Begitu pula sebaliknya dengan Indonesia. Para anggota ASEAN akan menjunjung tinggi prinsip pasar terbuka dan ekonomi yang digerakkan oleh pasar.

Jika menelaah kembali, hal ini bukanlah pertama kali terjadi pada Indonesia. Pada 2002 silam, Indonesia bersama ASEAN telah sepakat mengadakan kerjasama dengan Cina yang kemudian dikenal sebagai ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Sehingga saat ini rakyat Indonesia dapat merasakan gempuran produk-produk Cina.

Adapun dampak dari perjanjian ACFTA, Indonesia cukup kewalahan bersaing dengan produk-produk Cina. Seperti pada tahun 2012 lalu, Aria Bima yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI kala itu mengatakan kinerja sektor industri, pertanian dan UMKM perlahan justru mengkhawatirkan. Hal tersebut diikuti oleh fenomena deindustrialisasi yang berujung tak sedikitnya industri dalam negeri yang akhirnya gulung tikar karna tak mampuh bersaing.
Bila melihat fakta ironis tersebut. Tentu dapat dijadikan cerminan kembali untuk Indonesia. Sehingga, dapat mempertanyakan sejauh mana kesiapan Indonesia dalam menghadapi AEC di tahun depan nanti. Karna akan menjadi mungkin, persaingan dalam segala sektor akan semakin sengit.

Terlebih lagi, menurut Dyah Winarni Poedjiwati selaku Staf Ahli Menteri Bidang Sumber Daya Industri Dan Terknologi, Indonesia menempati posisi ke-9 dalam urutan susunan daya saing. Berada di bawah Thailand, Malaysia, dan Singapura. Sementara itu dalam hal kualitas infrastruktur Indonesia menempati posisi ke-82 dari 148 negara atau berada pada peringkat ke-5 diantara negara-negara ASEAN lainnya. Merujuk pula pada data World Economy Forum (WEF), daya saing Indonesia berada di urutan 55 dunia pada 2008 dan kemudian berada di peringkat 50 pada 2012. Indonesia tertinggal jauh dari Singapura di peringkat 3 dunia, Malaysia ke-25, dan Thailand pada urutan ke-38.

Meski begitu mau tidak mau, AEC sudah didepan mata. Tidak ada celah untuk melarikan diri. Entah bagaimana juga, semua lapisan masyarakat harus bersedia menghadapi kenyataan bahwa pasar bebas ASEAN telah tiba. Selamat datang di era persaingan ketat.

SESIAP APA KITA MENYAMBUT ASEAN Economic Community (AEC) ?

Satu-satunya modal Indonesia dalam menghadapai AEC ialah jumlah penduduk terbesar di kawasan Asia Tenggara. Menurut hasil sensus penduduk pada tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta dari sensus penduduk tahun 2000.

Kenapa dikatakan modal ? Hal ini merujuk pada poin pertama yang tercatat dalam situs resmi Kementerian Sekretariat Negara: Indonesia merupakan pasar potensial yang memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang terbesar di kawasan (40% dari total penduduk ASEAN). Hal ini dapat menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi yang produktif dan dinamis yang dapat memimpin pasar ASEAN di masa depan dengan kesempatan penguasaan pasar dan investasi.

Hal tersebut ditaksir dapat membawa Indonesia kedalam persaingan. Dengan perspektif, Indonesia tidak akan kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM). Tentu, penakaran berlandaskan kuantiitas belum mampuh dijadikan acuan Indonesia untuk mampuh bersaing, bagaimana jika dilihat secara kualitas ? Apakah Indonesia sudah cukup mumpuni ?

Rendahnya angka pendidikan di Indonesia membuat daya saing melemah. Merujuk data yang diperoleh dari ASEAN Productivity Organization (APO) tercatat dari 1000 tenaga kerja Indonesia hanya ada kurang dari 5% yang terampil. Hal tersebut didukung dengan fakta bahwa lapangan pekerjaan saat ini didominasi oleh pekerja lulusan SD (80%) sementara lulusan Perguruan Tinggi hanya 7%.

Jumlah penduduk yang besar dan ditambah tingkat pendidikan yang rendah mampuh memicu para korporasi multi-nasional mendirikan usahanya di Indonesia, karna bagi mereka hal tersebut sama dengan upah yang rendah. Belum lagi faktor melimpahnya Sumber Daya Alam di Indonesia, sehingga pasokan bahan baku bagi para korporasi terjamin tingkat ketersediaannya.

Merujuk kembali kepada apa yang Kementerian Sekretariat Negara tulis dalam situs resminya, Indonesia memang benar-benar pasar yang potensial. Jumlah penduduk yang besar berbanding lurus dengan tingkat konsumerisme yang tinggi. Membuat Indonesia adalah rumah ternyaman bagi korporasi multinasional.

Maka tak salah apabila, jauh sebelum AEC berlaku perusahaan asing seperti Chevron, Freeport, Nestle, Bayer, Mosanto, Petronas, Unilever, dan masih banyak lagi perusahaan asing yang sudah belasan bahkan puluhan tahun mendiami tanah garuda ini.

Dampaknya yang disebabkan-pun cukup serius mulai dari kesejahteraan masyarakat yang jauh dari kata layak hingga eksploitasi kekayaan alam Indonesia. Jika jauh sebelum AEC berlaku, kehidupan penduduk Indonesia sudah sedemikian memperhatikannya. Bagaimana kelak AEC resmi bergulir ?

Perlu adanya perubahan signifikan dalam sektor pendidikan di Indonesia, agar semua lapisan masyarakat khususnya golongan kurang mampuh dapat terfasilitasi oleh pendidikan yang murah dan merata. Sehingga ke depannya, masyarakat lokal memiliki “daya jual” tinggi dihadapan korporasi multinasional dan mampuh bersaing dengan para pekerja trampil dari negara ASEAN lainnya.

Tidak hanya itu, pemerintah pun perlu meninjau ulang sistem pengupahan di Indonesia dan harus sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang rasional serta sesuai dengan daerah masing-masing. Yang mana hal tersebut masih menjadi masalah internal yang belum terselesaikan oleh bangsa ini.

Karna jika tidak segera dibenahi, besar kemungkinan Indonesia tidak akan mampuh menjadi main player. Justru sebaliknya, menjadi ‘kudapan’ lezat bagi negara ASEAN lainnya. Tentu hal tersebut bukan sesuatu yang kita sama-sama harapkan dari terselenggaranya AEC ini, bukan ?

**tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal LPM Aspirasi edisi Februari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun