Mohon tunggu...
Alfiyatur Rahmawati
Alfiyatur Rahmawati Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli Gizi Madya Muda

Saya adalah seorang ahli gizi muda yang gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Peringatan Darurat Indonesia di Media Sosial: Alarm Digital atau Kepanikan Kolektif?

9 Januari 2025   00:00 Diperbarui: 9 Januari 2025   00:00 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Orang Sedang Bermain Handphone (Sumber: Pixel/Jakub Zerdzicki)

Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, istilah Peringatan Darurat Indonesia mendadak memenuhi lini masa media sosial. Tagar-tagar seperti #DaruratIndonesia, #SaveIndonesia, hingga #BangkitIndonesia menjadi trending dalam hitungan jam. Banyak yang menilai ini sebagai bentuk kepedulian publik, sementara yang lain menganggapnya sekadar histeria massa. Tapi apa sebenarnya yang terjadi?

Mengapa Peringatan Darurat Ini Viral?

Fenomena ini bermula dari keputusan politik kontroversial di Indonesia—terkait ambang batas pencalonan kepala daerah, isu hak asasi manusia, hingga dugaan korupsi pejabat negara. Namun, bukan hanya isu tersebut yang menjadi pemicu. Viralitas “Peringatan Darurat” didorong oleh kekuatan algoritma media sosial, di mana konten yang memicu emosi lebih cepat tersebar.

Di balik tagar yang beredar, ada narasi berbeda yang disampaikan:

  • Sebagian netizen menyerukan aksi nyata melalui petisi dan ajakan demo.
  • Sebagian lainnya menggunakan momen ini untuk menyebar meme dan konten satire, membuat “peringatan darurat” lebih terasa seperti hiburan.
  • Tidak sedikit pula akun anonim yang memanfaatkan situasi untuk menyebarkan hoaks.

Alarm Digital atau Kepanikan Kolektif?

Kecepatan informasi di media sosial membuat segala sesuatu terasa mendesak. Namun, apakah ini benar-benar refleksi keadaan darurat, atau hanya respons emosional masyarakat?

Psikolog sosial dari Digital Society Watch menyebutkan, “Media sosial adalah cermin masyarakat. Ketika banyak orang merasa tidak aman, media sosial menjadi medium untuk melampiaskan kegelisahan kolektif.”

Ironisnya, kepanikan yang beredar sering kali tidak diimbangi dengan data atau fakta. Misalnya, dalam beberapa kasus, foto atau video lama kerap disulap menjadi narasi baru untuk mendukung klaim tertentu. Akibatnya, alih-alih menjadi alat perubahan, media sosial malah menciptakan kebingungan baru.

Mengapa Kita Perlu Bijak?

1. Viralitas Bukan Selalu Kebenaran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun