Setiap orang memiliki mindset yang berbeda. Apa yang didapat oleh satu orang akan berbeda dengan orang lain, meskipun dua orang tersebut melakukan aktivitas yang sama. Begitu juga dengan pertumbuhan.
Dua orang yang tumbuh dalam satu lingkungan, mereka berkemungkinan besar untuk memiliki pemikiran yang berbeda, atau bahkan bertolak belakang. Dan satu hal yang pasti terjadi terhadap semua orang, yaitu mereka selalu menganggap diri mereka benar. Entah dari segi opini, pemikiran, tindakan, maupun keputusan yang diambil. Yang mendasari semua hal itu adalah ego dan harga diri suatu orang.
Sangat jarang ada orang yang dengan lantangnya mengakui, bahwa “aku salah”, atau “kamu benar”. Sangat jarang sekali. kenapa? Karena ego dan harga diri. Karena jika saya mengakui hal itu saya merasa saya akan diremehkan; Saya merasa kalah; Saya takut saya akan diolok-olok; Saya merasa nilai saya dimata mereka akan turun; dan berbagai alasan lainnya. Hal ini berawal dari keinginan naluriah kita untuk terlihat baik di mata orang. Kita tahu itu salah. Tapi kita tidak mau mengakuinya.
Dengan kalimat, “tidak apa-apa nanti ketika dewasa aku juga akan menjadi lebih dewasa, dengan mengakui kesalahan yang kulakukan.” Kita meyakinkan diri kita. Namun hal itu berulang terus-menerus hingga menjadi suatu kebiasaan. Yang awalnya dari nanti saat dewasa akan berubah, menjadi tidak apa-apa, kan tidak ada yang menegur. Kenapa? Karena…ya…begitulah Indonesia.
Dengan alasan ‘sungkan’ kita membiarkan orang lain untuk melakukan kelalaian dengan mengabaikan mereka, karena hal itu sudahlah biasa. Lazim bagi kita. Cuek saja atau bisa jadi kita mengira akan ada orang lain yang menegur orang tadi. Maka, hal itu tidak akan membuang kemungkinan bahwa orang lain pun juga akan memiliki pikiran yang sama dengan kita.
Namun, saat orang yang kita harapkan, ‘si penegur’ itu muncul, hal pertama yang mungkin muncul dalam pikiran kita dan si pelanggar adalah ‘dasar sok’. Dari si pelanggar itu bisa dikatakan bahwa itu respon yang wajar…kenapa? Karena dia merasa malu ditunjukkan apa kesalahannya.
Si pelanggar tidak akan merasa berterimakasih karena telah diingatkan akan kesalahannya, justru dia akan merasa tidak senang dengan perilaku si penegur tersebut. Sedangkan respon yang tidak menegur itu wajar juga. Kenapa?
Karena lazim, itu reflex, akibat dari ketidakmampuan mereka untuk melakukan hal yang dapat dilakukan satu orang tadi. Singkatnya, mereka secara tidak sadar merasa iri. Ada kemungkinan bahwa mereka bahkan hanya sekedar memilih untuk tidak peduli, karena mereka menganggap hal itu adalah hal yang sepele.
Ironisnya ketika si pelanggar dan orang-orang yang diam tadi, jika ditanya apakah perbuatan si pelanggar tadi benar atau tidak mereka akan bilang, “salah”. Ironis bukan. Tapi apalah dikata hal itu sudah lazim di Indonesia. Bahkan mungkin sudah menjadi kebiasaan tersendiri karena kurangnya kepekaan kita terhadap pentingnya hal sepele tersebut. Kebiasaan seperti inilah yang menjadi penghambat bagi orang-orang yang peka terhadap hal sepele ini, untuk mewujudkan kepekaan mereka ini.
Hal yang dilakukan oleh mayoritas secara berulang-ulang dapat menjadi kebiasaan dan hal yang lazim. Hal yang dilakukan minoritas akan dianggap aneh dan tidak lazim. Jadikanlah hal sepele seperti menegur orang yang melakukan kesalahan menjadi kebiasaan, hingga hal tersebut berubah menjadi kebiasaan masyarakat. Mulailah dari dirimu sendiri dengan menjadi salah satu bagian minoritas yang peka dengan hal sepele tadi. Dewasalah dengan sikap yang lebih baik dan lebih bijak lagi, jika sikap anda masih tetap sama meskipun telah bertambah umur, maka itu bukan berarti anda konsisten atau tidak berubah seperti orang lain, namun andalah yang tidak berkembang sebagai suatu individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H