Mohon tunggu...
Alfiyah Rizzy Afdiquni
Alfiyah Rizzy Afdiquni Mohon Tunggu... Freelancer - Research Enthusiast

this girl loves coffee, books, discuss and you

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

"My Arabic Journey"

18 Maret 2019   06:05 Diperbarui: 18 Maret 2019   06:23 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilahirkan di lingkungan agamis dan besar dalam pendidikan madrasah tidak menjamin seseorang mencintai bahasa Arab. Sejak kecil, didikan agama oleh keluarga sangat terasa. Mulai dari pembelajaran ranah ubuiyah, seperti mengaji Al-Qur'an, keaktifan dalam sholat berjemaah, ranah muamalah yang meliputi adab tata krama halus ala Madura; cara bicara, hingga cara berpakaian, bagaikan aturan tak tertulis yang telah mendarah daging. And I'm so grateful about that. Alhamdulillah. 

Tak dapat dipungkiri, saya merupakan produk Kementrian Agama. Saat tingkatan dasar, saya bersekolah di MI Nurul Huda Bangkalan, kemudian melanjutkan ke MTs Negeri Bangkalan, MA Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan nyambi mondok. Usai dinyatakan lulus, dengan mantap saya mengambil Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 

Sekali lagi, latar belakang keluarga dan pendidikan yang agamis tak mampu membentuk pribadi yang mencintai bahasa Arab. Alfiyah remaja kala itu, justru tertarik dengan bahasa Inggris dan dunia Korean wave yang notabene sangat jauh dengan nilai-nilai Islam.

Jika boleh menilai, alasan utama mengapa tidak begitu tertarik dengan bahasa Arab karena pembelajarannya terkesan monoton dan guru-guru belum mampu memikat hati saya secara utuh. Hal ini didukung dengan streotype bahasa Arab yang hanya sekadar bahasa agama, klasik, dan tidak gaul untuk remaja saat itu, bahkan hingga kini.

Lalu, mengapa akhirnya saya banting setir ke PBA? Walaupun sejak MI, saya sudah menyukai bahasa Inggris, namun di hati kecil saya, saya meyakini bahwa saya sangat menaruh porsi besar kepada bahasa Arab, bahasa agama saya. Ya, didikan agama yang kental sejak kanak-kanak membentuk mindset kuat untuk terjun langsung di jurusan ini. 

Di sini, saya ingin memberi tahu kepada pembaca budiman, sungguh sangat penting mendidik karakter anak dengan balutan agama, karena kelak mereka memiliki pijakan melalui pertimbangan agama di dalamnya.

Saya berharap, ke depannya tidak ada lagi anak-anak Islam yang bernasib sama seperti saya. Tentu untuk membumikan bahasa Arab merupakan PR besar kita semua, baik akademisi, Kementrian Agama, dan umat Islam di Indonesia pada umumnya. Seperti dawuh Habib Ismail Fajrie Alatas, cendekiawan muslim Indonesia, bahwasanya pendidikan Islam harusnya membentuk manusia muslim yang sejati, yang cinta dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang berbeda. 

Dalam hal ini, sebagai anak muda Muslim Indonesia, sudah selayaknya kita mampu menyeimbangkan bahasa Inggris dan bahasa Arab agar mampu membuka tabir pengetahuan dunia Barat dan Timur. Tahiyyah Arobiyyah!

Malang, 17 March 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun