Hari Santri yang diperingati sejak 22 Oktober 2015 silam, tercoreng untuk pertama kalinya. Pada 22 Oktober 2018, terjadi insiden pembakaran bendera yang menghebohkan bangsa. Hari Santri harusnya berisi upacara khidmat dan penghayatan nilai-nilai Islami bukan insiden antar umat Islam sendiri.
Sudah seharusnya, sebagai umat Islam mempertahankan ajaran yang diterapkan Pesantren. Pesantren yang notabene sebagai lembaga keagamaan tak hanya mendidik norma-norma agama, namun juga norma sosial.
Norma sosial, yang walaupun tidak memiliki regulasi secara tertulis, namun telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari santri dan stakeholder di sekelilingnya. Dalam hal ini, praktek tersebut antara lain:
1. Interaksi sosial yang memiliki feedback antara guru dan santri.
2. Pengelompokkan santri dengan santri lainnya di sebuah program khusus sebagai peningkatan produktifitas pembelajaran.
3. Kolaborasi antara pihak pesantren dengan keluarga santri, seperti pengadaan musyawarah bersama, mulai pemberian informasi hingga penyediaan layanan konsultasi.
4. Bimbingan santri sebaya yang memiliki kompetensi lebih baik dari pada santri yang lainnya. Bimbingan santri sebaya dapat membantu meringankan peran guru di pesantren.
Dengan terlaksananya norma sosial dapat melatih muamalah sejak dini, sehingga kelak ketika sudah jadi alumni, mereka mampu menghargai nilai-nilai kemanusian, perbedaan aliran, dan alhasil tidak akan ada pertikaian. Walaupun ada penyimpangan, mereka tidak akan semena-mena dalam mengeksekusi, melainkan menyerahkan kepada pihak berwajib. Selamat hari santri, jangan ada tengkar di antara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H