Saya mengenali teori Jeanne Chall di suatu waktu dalam masa kuliah saya. Pada waktu itu, saya sedang mengkritisi pemahaman saya terkait literasi, sebab pada waktu itu saya berpikir tidaklah adil jika membaca novel dikatakan sebuah proses literasi sedangkan mahasiswa yang sibuk membaca jurnal tidak dianggap sebagai proses literasi. Akhirnya, saya mengerti bahwa membaca jurnal adalah sebuah proses literasi yang menuntut pemahaman lebih lanjut, sedangkan membaca novel merupakan suatu bagian dari proses pendewasaan tahapan literasi seseorang. Mungkin saja akan ada seseorang yang tiba di tahapan membaca jurnal tanpa ia melewati membaca novel, tapi kemampuan literasi kedua orang itu, saya rasa bisa dikatakan berbeda.
Level bacaan menurut saya sendiri
Secara umum, saya memetakan bahwa setiap orang harusnya melewati 3 level bacaan dalam proses hidup mereka:
- Bacaan ringan untuk membangun kosakata. Bacaan yang termasuk dalam level ini misalnya komik bergambar dan ilustrasi, termasuk novel ringan yang mampu membuat seseorang lebih banyak mengenal kosakata.
- Bacaan menengah untuk melatih kemampuan pemaknaan literal serta kemampuan analisis sederhana. Termasuk dalam level ini adalah novel-novel menengah, cerita pendek, puisi, biografi, dan sebagainya yang bisa membangun analisis sederhana si pembaca terhadap konteks bacaan.
- Bacaan berat yang menuntut kemampuan berpikir kritis. Termasuk di dalamnya bacaan ilmiah, jurnal, serta esai-esai berat seperti Madilog milik Tan Malaka yang saya sebut di awal tulisan ini.
Sebenarnya, tidak ada salahnya membaca bacaan berat ketika kita masih belajar membaca, tapi jika memang berkenan untuk belajar membaca, lebih baik menyesuaikan level bacaan kita dengan kemampuan membaca kita saat ini. Sebab jika kita tidak melewati tahapan membaca yang benar, kita akan mengalami kesulitan dan kesalahan dalam memahami konteks bacaan.Â
Dalam kasus Tan Malaka dan Madilog contohnya. Dalam buku itu, Tan membahas terkait 3 topik utama : Materialisme, Dialektika, dan Logika. Tan menggunakan 3 subjek tersebut untuk ditentangkan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih sangat dekat dengan dunia mistika (mistis). Selanjutnya, Tan menggunakan 3 subjek tersebut untuk membahas bagaimana strategi revolusi harus disusun dengan kondisi masyarakat yang masih erat dengan mistika.
Belakangan, muncul diskursus di X yang membahas sebuah buku Madilog cetakan pertama yang dijual mahal. Dalam diskursus itu, orang-orang justru mengatakan, "menjual dengan cara yang menentang isi jualannya", padahal justru Tan menegaskan bahwa materialisme adalah suatu konsep yang memberangkatkan pemahaman dari keberadaan benda. Dalam konsep Tan, materialisme adalah lawan dari Idealisme : suatu konsep yang berangkat dari dunia ide. Dari konsep ini, sebenarnya menjual buku dengan harga mahal karena buku tersebut memiliki nilai historis, sebenarnya lebih dekat dengan konsep materialisme Tan. Artinya, Tan sebenarnya bisa jadi setuju bahwa buku bernilai sejarah seharusnya dijual mahal sebagaimana nilai historisnya. Pendapat Tan akan menentang ini justru muncul karena asumsi, "Tan adalah orang kiri. Orang kiri menentang kapitalisme, dan kapitalisme mendukung barang-barang dijual mahal". Padahal, tak satupun konsep kapitalisme membahas terkait harga barang. Pun juga konsep Marxisme.
Konsep berliterasi bagi orang-orang golongan idealis Indonesia sebagian masih berada pada tahapan mengerti arti padanan kata. Jika organisasi-organisasi mahasiswa masih berfokus pada perdebatan makna kata, artinya mahasiswa sendiri masih belum mencapai tahapan yang tinggi dalam proses literasi. Jika kita kembalikan ke teori tahapan membaca, bisa jadi mahasiswa-mahasiswa kita  masih berada pada tahapan "belajar membaca", alias learning to read.
Selain itu, akan lebih sulit membangun kebiasaan membaca ketika kepala kita dipaksakan menikmati sesuatu yang belum bisa kita nikmati. Mungkin pada saat berkuliah, Budi akan mengikuti kajian buku karena teman-temannya masih sering mengikuti kajian yang sama. Namun ketika dia sudah lulus, Budi bisa jadi merasa eneg dengan buku, sebab sudah terlalu sering dipaksa membaca pada level yang tidak ia sukai.
***
Karena kini saya sudah bekerja dan sudah tamat S1, saya memutuskan bahwa saya harus berfokus membangun jejak literasi yang baik bagi anak saya nantinya. Saya rasa jejak literasi yang baik akan membangun pribadi yang kritis, sehingga setidaknya seseorang akan mampu bersikap secara independen sesuai dengan nilai-nilai yang ia yakini. Saya bahkan mulai berhipotesis bahwa korupsi di Indonesia berawal dari kurangnya kemampuan membaca. Jika ditinjau dari konsep Madilog-nya Tan Malaka, saya rasa pertanyaan saya tidak ada salahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H