Mohon tunggu...
Andi Alfitra Putra Fadila
Andi Alfitra Putra Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Plat Merah

Statistisi yang bingung membedakan peran sebagai penulis, pembaca, dan analis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Alasan Mengapa BPS Bertahan Menggunakan Ukuran Kemiskinan yang "Usang"

19 November 2024   14:27 Diperbarui: 20 November 2024   14:09 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diskusi terkait metode kemiskinan BPS dan tuduhan manipulasi data.

Belakangan ini ramai dibahas di X terkait ukuran kemiskinan BPS yang dituduh sudah terlampau usang. Tuduhan ini ramai dibahas setelah salah satu akun X, @hnirankara mengutip berita yang mengatakan "BPS menggunakan standar jadul untuk mengelabui kemiskinan di era Jokowi."Dalam thread tersebut, banyak dibahas terkait celah metode statistik seperti penggunaan garis kemiskinan yang merupakan metode lama, sampai ke urusan teknis seperti beberapa mitra statistik yang tidak berlatar belakang statistik, sehingga dinilai tidak cukup cakap untuk dijadikan petugas lapangan.

Pada artikel kali ini, saya akan membahas terkait beberapa pertanyaan yang dibahas dalam diskursus tersebut.

Sebenarnya seberapa usang metode pengukuran kemiskinan yang digunakan BPS?

Metode pengukuran kemiskinan BPS saat ini adalah Basic Need Approach atau pendekatan kebutuhan dasar. Dalam pengukurannya, BPS menggunakan pendekatan pengeluaran/konsumsi untuk mencari tahu kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Metode ini telah digunakan selama 26 tahun, yakni sejak tahun 1998. Dari sini memang bisa dibilang metode yang kini digunakan BPS sudah bertahan cukup lama dan saya rasa tidak ada salahnya jika dituding usang. Meskipun demikian, terdapat alasan khusus mengapa metode ini dipertahankan oleh BPS yang akan saya jelaskan di bagian lain dalam artikel ini.

 Sebelum menggunakan pendekatan kebutuhan dasar, BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan pendekatan pendapatan. Perubahan metode dilakukan dikarenakan pada saat itu tren global di dunia perstatistikan terutama di forum global seperti UNDP dan Bank Dunia, sedang marak menjadikan basic need approach sebagai indikator utama dalam mengukur kesejahteraan suatu negara. Oleh karena itu, BPS juga melakukan penyesuaian sehingga indikator kemiskinan BPS sesuai dengan standar internasional.

Keunggulan metode saat ini dibandingkan pendekatan pendapatan adalah jauh lebih adaptif sebab dapat menyesuaikan dengan pola konsumsi yang ada di suatu wilayah. Selain itu, dengan adanya pembagian komponen utama penyusun garis kemiskinan menjadi Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM), maka kondisi keterpenuhan kebutuhan dasar menjadi jauh lebih tergambarkan. Di lain sisi secara teknis pendataan pendapatan jauh lebih sulit dilakukan dibandingkan pendataan pengeluaran, sebab mayoritas masyarakat akan cenderung menutupi pendapatannya. Nilai yang diukur akan cenderung undercoverage.

 Lalu metode apa yang bisa menjadi alternatif selain metode yang saat ini digunakan?

Ada banyak sekali indikator kemiskinan yang dapat dijadikan ukuran dalam melihat gejala sosial ekonomi ini. Namun untuk memfokuskan diskusi, saya akan membatasi ranah pembahasan ke dalam konsep kemiskinan moneter. Hal ini karena dari diskusi-diskusi yang sudah ada di sosial media, faktor utama yang selalu dibahas adalah mengenai penetapan garis kemiskinan yang terlampau rendah. Oleh karenanya, diskusi dalam artikel ini akan berfokus pada variasi-variasi metode pengukuran kemiskinan yang dapat digunakan dalam konteks pendekatan moneter.

Selain metode basic need approach yang digunakan BPS, salah satu metode penetapan garis kemiskinan yang marak di bahas adalah garis kemiskinan versi Bank Dunia. Garis Kemiskinan ini sudah mulai diperkenalkan oleh Bank Dunia sejak tahun 1990-an, yang mana konsep garis kemiskinan global disusun sebagai konsep yang berangkat dari nilai tukar daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP).

Berdasarkan konsep PPP, 1 USD tidak bisa dikonversi ke rupiah berdasarkan harga USD terhadap rupiah (yang pada saat artikel ini dituliskan menyentuh 15.821 rupiah per 1 USD). Hal ini karena barang-barang di Indonesia jauh lebih murah daripada di Amerika Serikat, sehingga 1 USD di Indonesia tidak bisa disamakan dengan 1 USD di amerika. Dalam konsep PPP, 1 USD sama dengan 4.850,73 rupiah, berdasarkan hitungan Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 2022. Oleh karenanya, garis kemiskinan World Bank yang menggunakan standar 2,15 $ PPP per hari jika dikonversi menjadi satuan yang sama dengan garis kemiskinan BPS, akan senilai 312.872 rupiah per kapita per bulan. Nilainya jauh lebih rendah dari pada garis kemiskinan BPS yang mencapai 583.932 rupiah per kapita per bulan pada tahun 2024.

World bank dalam publikasinya sendiri sebenarnya menghadirkan beragam variasi garis kemiskinan, yakni sebagai berikut:

Tabel konversi garis kemiskinan versi World Bank dalam $ PPP menjadi rupiah per kapita per bulan.
Tabel konversi garis kemiskinan versi World Bank dalam $ PPP menjadi rupiah per kapita per bulan.
Note : nilai konversi saya ambil dari nilai $ PPP Indonesia tahun 2022 berdasarkan hitungan OECD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun